Senin, 13 Desember 2021

Ancaman untuk Orang yang Memutuskan Silaturahmi



Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


«لاَ يَدْخُلُ الجَنَّةَ قَاطِعٌ»


“Tidak masuk surga orang yang memutuskan tali silaturrahmi.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Syaikh Ibnu Utsaimin menerangkan, bahwa praktek silaturrahim ini sesuai uruf (adat) yang berlaku, karena tidak diterangkan dalam Al Qur’an dan As Sunnah macamnya, jenisnya, dan ukurannya. Dan karena Nabi shallalahu ‘alaihi wa sallam tidak membatasi dengan sesuatu, bahkan memutlakkannya. Oleh karena itu, kembalinya ke uruf. Maka, apa saja yang dianggap uruf sebagai bentuk silaturrahmi, maka itu silaturrahmi, dan yang dianggap uruf sebagai memutuskan tali silaturrahmi, maka dianggap memutuskan (Sebagaimana disebutkan dalam Syarh Riyadhush Shalihin).


Di antara para kerabat yang kita diperintahkan menyambung tali silaturrahmi itu, ada yang bisa dihubungi setiap hari, ada yang sepekan sekali, ada yang sebulan sekali, atau pada kesempatan tertentu.


Praktek silaturrahmi juga disesuaikan dengan kondisi, yang lebih dekat nasabnya seperti ayah-ibu dan saudara tentu lebih didahulukan, dan yang lebih dekat tempat tinggalnya tentu berbeda dengan yang tempat tinggalnya jauh.


Menyambung tali silaturrahmi juga disesuaikan dengan kebutuhan kerabat kita dan kemampuan kita. Jika kerabat kita membutuhkan sesuatu dan kita mampu memberinya, maka menyambungnya adalah dengan memenuhi kebutuhannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


الصَّدَقَةُ عَلَى المِسْكِينِ صَدَقَةٌ، وَهِيَ عَلَى ذِي الرَّحِمِ ثِنْتَانِ: صَدَقَةٌ وَصِلَةٌ


“Sedekah kepada orang miskin adalah satu sedekah, dan kepada kerabat ada dua; yaitu sedekah dan silaturrahmi.” (HR. Nasa’i dan Tirmidzi, dinyatakan hasan shahih oleh Al Albani)


Allah Subhaanahu wa Ta’ala berfirman,


يَسْأَلُونَكَ مَاذَا يُنْفِقُونَ قُلْ مَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ خَيْرٍ فَلِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ


“Mereka bertanya tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah, "Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu-bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan." Dan apa saja kebaikan yang kamu lakukan, maka sesungguhnya Allah Maha mengetahuinya.” (QS. Al Baqarah: 215)


Menyambung tali silaturrahmi juga bisa dengan memberinya harta, mengunjungi mereka, memperhatikan kondisi duniawi (ekonomi) maupun ukhrawi (agama), menanyakan kabar, menjenguknya jika sakit, mengiringi jenazah, memenuhi undangan, mendoakan, berkomunikasi baik lewat hp atau surat, mengadakan acara kumpul keluarga, dan lebih baik lagi jika diawali dengan taushiyah, melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar dengan lemah lembut, mendamaikan yang bertengkar, dsb.


Praktek Silaturrahmi

Bagaimana cara menghadapi orang-orang yg selalu mengejek kita ?



Allah Ta’ala berfirman,


فَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا يَقُولُونَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوبِهَا ۖوَمِنْ آنَاءِ اللَّيْلِ فَسَبِّحْ وَأَطْرَافَ النَّهَارِ لَعَلَّكَ تَرْضَىٰ


“Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka katakan, dan bertasbihlah dengan memuji Rabbmu, sebelum terbit matahari dan sebelum terbenamnya dan bertasbih pulalah pada waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang.” (QS. Thaha: 130)


فَاصْبِرْ عَلَىٰ مَا يَقُولُونَ وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ قَبْلَ طُلُوعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ الْغُرُوبِوَمِنَ اللَّيْلِ فَسَبِّحْهُ وَأَدْبَارَ السُّجُودِ


“Maka bersabarlah kamu terhadap apa yang mereka katakan dan bertasbihlah sambil memuji Rabbmu sebelum terbit matahari dan sebelum terbenam(nya). Dan bertasbihlah kamu kepada-Nya di malam hari dan setiap selesai shalat.” (QS. Qaaf: 39-40)


وَلَقَدْ نَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيقُ صَدْرُكَ بِمَا يَقُولُونَفَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَكُنْ مِنَ السَّاجِدِينَوَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ


“Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa yang mereka ucapkan, maka bertasbihlah dengan memuji Rabbmu dan jadilah kamu di antara orang-orang yang bersujud (shalat), dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu ajal.” (QS. Al-Hijr: 97-99)


Ingatlah bahwa orang yang suka menghina, mencemooh, dan mencerca sebenarnya adalah orang yang sudah kalah, derajatnya berada di bawah kita.

 


Maka jangan sampai kita turun ke derajat mereka.


Allah Ta’ala berfirman,


فَاصْدَعْ بِمَا تُؤْمَرُ وَأَعْرِضْ عَنِ الْمُشْرِكِينَ


“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.” (QS. Al-Hijr: 94)


فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللَّهِ حَقٌّ ۖوَلَا يَسْتَخِفَّنَّكَ الَّذِينَ لَا يُوقِنُونَ


“Dan bersabarlah kamu, sesungguhnya janji Allah adalah benar dan sekali-kali janganlah orang-orang yang tidak meyakini (kebenaran ayat-ayat Allah) itu menggelisahkan kamu.”(QS. Ar-Rum: 60)


Mengingatkan orang yang dicemooh atau dibicarakan jelek bahwa dia tidak sendirian dan bentuk penghinaan itu tidak diperuntukkan untuk dirinya sendiri.

 


Kita bisa renungkan ayat berikut,


وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚقُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَلَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ ۚإِنْ نَعْفُ عَنْ طَائِفَةٍ مِنْكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ


“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja”. Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” (QS. At-Taubah: 65-66)


Kisah tentang ayat di atas disebutkan dalam hadits berikut ini.


Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam dan Qatadah, disebutkan bahwa pada suatu perjalanan perang (yaitu perang Tabuk), ada orang di dalam rombongan tersebut yang berkata, “Kami tidak pernah melihat seperti para ahli baca Al-Qur’an ini (yang dimaksudkan adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya), kecuali sebagai orang yang paling buncit perutnya, yang paling dusta ucapannya dan yang paling pengecut tatkala bertemu dengan musuh.”


(Mendengar hal ini), ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata kepada orang tersebut, “Engkau dusta, kamu ini munafik. Aku akan melaporkan ucapanmu ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.”


Maka ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu pun pergi menghadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun sebelum ‘Auf sampai, wahyu telah turun kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam (tentang peristiwa itu). Kemudian orang yang bersenda gurau dengan menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bahan candaan itu mendatangi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu sudah berada di atas untanya. Orang tadi berkata, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami tadi hanyalah bersenda gurau, kami lakukan itu hanyalah untuk menghilangkan kepenatan dalam perjalanan sebagaimana hal ini dilakukan oleh orang-orang yang berada dalam perjalanan!”


Ibnu Umar (salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berada di dalam rombongan) bercerita, “Sepertinya aku melihat ia berpegangan pada tali pelana unta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sedangkan kakinya tersandung-sandung batu sembari mengatakan, “Kami tadi hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.”


Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya (dengan membacakan firman Allah yang artinya), “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan manjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu telah kafir sesudah beriman.” (QS. At-Taubah: 65-66).


Beliau mengucapkan itu tanpa menoleh orang tersebut dan beliau juga tidak bersabda lebih dari itu.” (HR. Ibnu Jarir Ath-Thabariy dan Ibnu Abi Hatim dari Ibnu Umar dan Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad min Asbabin Nuzul mengatakan bahwa sanad Ibnu Abi Hatim hasan)


Mufti Kerajaan Saudi Arabia pada masa silam, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah ketika ditanya mengenai orang yang menghina ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti menghinan jenggot, cadar, atau celana di atas mata kaki, beliau lantas memberikan jawaban sebagai berikut.


“Adapun mengolok-olok orang yang memelihara (memanjangkan) jenggot, yang menaikkan celana di atas mata kaki (tidak isbal), atau semacamnya yang hukumnya masih samar (bagi sebagian orang), maka ini perlu diperinci lagi. Tetapi setiap orang wajib berhati-hati melakukan perbuatan semacam ini.


Kami menasihati kepada orang-orang yang melakukan perbuatan olok-olok seperti ini untuk segera bertaubat kepada Allah dan hendaklah komitmen dengan syariat-Nya. Kami menasihati untuk berhati-hati melakukan perbuatan mengolok-olok orang yang berpegang teguh dengan syariat ini dalam rangka taat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Lihat Kayfa Nuhaqqiqut Tauhid, Madarul Wathon Linnashr, hlm. 61-62)


Ingatlah bahwasanya dai yang dihina sebenarnya tidak sendirian, Allah akan membalas penghinaan yang dilakukan oleh orang yang mengolok-olok. Allah Ta’ala berfirman,


الَّذِينَ يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ فَيَسْخَرُونَ مِنْهُمْ ۙسَخِرَ اللَّهُ مِنْهُمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ


“(Orang-orang munafik itu) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu, dan untuk mereka azab yang pedih.” (QS. At-Taubah: 79)


Edisi berikutnya insya Allah akan membahas bagaimanakah sikap orang Quraisy dalam menghadapi dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara-cara fisik.


Semoga Allah beri kita kekuatan untuk terus bersabar.


Sumber: Rumahsyo

Bolehkah menggunakan parfum beralkohol untuk shalat ?



Bagi sebagian kalangan, barang encer dalam botol minyak wangi bisa menaikkan tingkat kepercayaan diri. Tetapi tidak sedikit mereka yang berjiwa besar tanpa mengenal parfum. Di antara keduanya, ada juga mereka yang mengenakan minyak wangi dalam tempo tertentu sesuai kehendak hati. Yang jelas, setiap mereka mengantongi alasan macam-macam.


Perdagangan cairan wangi asiri yang mudah menguap pada temperatur agak rendah ini bisa didapati di emper masjid, pasar tradisional, pasar swalayan, atau pasar-pasar malam dadakan. Pedagang minyak wangi biasanya menerakan minyak wangi yang tidak mengandung alkohol. “Nonalkohol,” dengan tulisan besar. Untuk yang beralkohol, biasanya tanpa keterangan apapun. Penggolongan keduanya bisa berasal dari pedagang, peracik, atau produsennya. Penggolongan ini sekurangnya membelah sikap warga.


Ada yang memilih nonalkohol untuk menenangkan hati jika mereka bersembayang. Pasalnya, ia menganggap najis zat alkohol yang digolongkan ke dalam khamar. Sedangkan yang lain mengambil parfum beralkohol di samping ada juga mereka yang tidak mengambil peduli.


Sikap di atas bisa dijelaskan secara hukum antara lain; pertama zat alkohol termasuk ke dalam khamar. Artinya alkohol sebagaimana khamar juga haram dan najis. Sedangkan pendapat kedua mengatakan, alkohol hanya haram dikonsumsi, tetapi tidak najis digunakan untuk kepentingan parfum misalnya. “Alkohol tidak identik dengan khamar. Kekeliruan orang banyak mengidentikan keduanya. Padahal keduanya tidak selalu identik. Kalau alkohol diminum, ia baru disebut khamar. Tetapi sejauh digunakan untuk parfum, tidak menjadi apa,” kata Katib Aam PBNU KH Malik Madani di Gedung PBNU jalan Kramat Raya 164 Jakarta Pusat, Kamis (13/2). Sementara pendapat ketiga mengatakan, khamar itu tetap suci kendati tetap haram. Keterangan ini bisa didapat dari Syekh Abdul Wahab bin Ahmad Al-Ansori yang lazim dikenal As-Sya’roni dalam kitab Al-Mizanul Kubro berikut.


أجمع الأئمة علي نجاسة الخمر إلا ما حكي عن داود أنه قال بطهارتها مع تحريمها


“Para imam mujtahid sepakat atas najisnya khamar kecuali riwayat dari Imam Daud. Ia berpendapat, khamar itu suci meski haram untuk dikonsumsi.” Pendapat ini bisa berlaku bagi mereka yang mengidentikkan alkohol dan khamar. Wallahu A’lam.


Sumber: Islamnu