Kamis, 20 Januari 2022

Apa yang Dilakukan Makmum saat Imam Baca Surat Pendek?

 Apa yang Dilakukan Makmum saat Imam Baca Surat Pendek?


Sudah lumrah kita ketahui bahwa ada beberapa bacaan yang biasa dibaca saat kita melaksanakan shalat. Saat berdiri misalnya, kita diwajibkan membaca Al-Fatihah dan disunahkan membaca surat pendek setelahnya.


Namun saat berjamaah, apalagi saat menjadi makmum, ketika imamnya membaca surat-surat tersebut dengan keras (keras), masihkah kita disunahkan membaca surat tersebut? Dalam bahasa sederhana, apa yang dibaca makmum ketika imam membaca surat pendek?


Surat pendek dalam hal ini hanya sebagai contoh saja. Karena bisa jadi imam membaca surat yang lebih panjang, tergantung surat apa yang dibaca oleh imam setelah membaca surat Al-Fatihah.


Menjawab hal ini, kita perlu merujuk sebuah hadits riwayat Imam An-Nasa’i berikut ini.


عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ ، أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم صَلَّى صَلاَةَ الظُّهْرِ أَوِ الْعَصْرِ ، وَرَجُلٌ يَقْرَأُ خَلْفَهُ ، فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ : أَيُّكُمْ قَرَأَ بِـ{سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى} ؟ فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ : أَنَا وَلَمْ أُرِدْ بِهَا إِلاَّ الْخَيْرَ . فَقَالَ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم : قَدْ عَرَفْتُ أَنَّ بَعْضَكُمْ قَدْ خَالَجَنِيهَا.


Artinya, “Dari Imran bin Hushoin, bahwa Rasulullah SAW melakukan shalat zhuhur, atau ashar, kemudian seorang laki-laki di belakang Rasul, membaca sesuatu. Ketika sudah selesai shalat, Rasul bertanya, ‘Siapa di antara kalian yang tadi membaca Sabbihisma rabbikal a’la?’ Kemudian seorang laki-laki menjawab, ‘Saya wahai Rasul, saya hanya ingin melakukan kebaikan.’ Rasul pun kemudian berkata, ‘Aku telah mengetahui bahwa sebagian dari kalian menyelisihi bacaanku,’” (Lihat Abu Abdurrahman An-Nasai, Al-Mujtaba minas Sunan, Sunan An-Nasai, (Aleppo: Maktabah Islamiyah, 1986), juz II, halaman 138).


Hadits di atas digolongkan oleh An-Nasai dalam bab “Tarkul qira’ah khalfal imam fi ma lam yajhar bihi” (tidak membaca surat di belakang imam yang membaca dengan tidak keras). Dalam bab lain, dijelaskan juga bahwa Rasul memerintahkan agar tidak membaca surat saat imam sedang membacanya dengan keras.


عَنْ عُبَادَةَ بْنِ الصَّامِتِ قَالَ : صَلَّى بِنَا رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم بَعْضَ الصَّلَوَاتِ الَّتِي يُجْهَرُ فِيهَا بِالْقِرَاءَةِ فَقَالَ : لاَ يَقْرَأَنَّ أَحَدٌ مِنْكُمْ إِذَا جَهَرْتُ بِالْقِرَاءَةِ إِلاَّ بِأُمِّ الْقُرْآنِ.


Artinya, “Dari Ubadah bin As-Shamit berkata bahwa Rasulullah pernah shalat yang bacaanya dibaca dengan keras. Kemudian Rasul bersabda, ‘Janganlah kalian membaca bacaan ketika aku sedang membaca bacaan dengan keras, kecuali Surat Al-Fatihah,’” (Lihat Abu Abdurrahman An-Nasai, Al-Mujtaba minas Sunan, Sunan An-Nasai, juz II, halaman 139).


Dari dua hadits ini secara zhahir sudah jelas bahwa baik imam membaca keras atau pelan, makmum tak perlu membaca surat, kecuali Surat Al-Fatihah karena Al-Fatihah merupakan salah satu rukun shalat.


Namun, Syekh Nawawi Al-Bantani menjelaskan dalam Kitab Nihayatuz Zain Syarh Qurratul Ain, bahwa makmum tak perlu membaca surat pada saat imam membaca dengan keras (jahr), berbeda dengan shalat yang sirr (pelan), makmum tetap harus membaca surat karena ia tidak mendengar bacaan suratnya imam.


ولا سورة للمأموم في الجهرية بل يستمع قراءة إمامه فإن لم يسمعها لصمم أو بعد أو غيره قرأ سورة فأكثر إلى أن يركع الإمام إذ سكوته لا معنى له .  وأما السرية فيقرأ فيها السورة لعدم سماعه قراءة إمامه ما لم يكن مسبوقا وإلا سقطت عنه السورة تبعا لسقوط الفاتحة أو بعضها


Artinya, “Tidak perlu membaca surat bagi makmum pada shalat yang jahr, tetapi cukup mendengarkan bacaan imamnya. Jika tidak mendengar karena ia tuli atau jaraknya jauh atau alasan lain, maka makmum tersebut tetap membaca satu surat atau lebih sampai imam melakukan rukuk. Karena diamnya makmum tersebut tidak berarti apa-apa. Sedangkan pada shalat yang pelan (sirriyah), maka makmum tetap membaca surat, karena ia tidak mendengar bacaan imam, selama ia bukan makmum masbuq. Jika ia makmum masbuq, maka gugurlah bacaan suratnya sebagaimana gugurnya al-Fatihah atau sebagiannya,” Lihat Muhammad bin Umar Nawawi Al-Jawi, Nihayatuz Zain fi Irsyadil Mubtadiin, [Beirut: Darul Fikr, tanpa tahun], halaman 64).


Lalu, apa yang dilakukan makmum saat imam membaca surat dengan keras? Makmum tersebut cukup mendengarkan bacaan suratnya imam. Hal ini senada dengan pendapat Syekh Nawawi di atas, sekaligus searah dengan hadis dari Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh An-Nasai.


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ :قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا جُعِلَ الْإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوا وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقُولُوا اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ


Artinya, “Dari Abu Hurairah  berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda, ‘Sesunggunya orang yang dijadikan imam itu untuk diikuti. Maka ketika ia membaca takbir, bertakbirlah kalian semua, dan jika ia membaca bacaan, diamlah dan dengarkan. Dan jika ia mengucapkan samiallahu liman hamidah, maka ucapkanlah allahumma rabbana lakal hamd,’”  (Lihat Abu Abdurrahman An-Nasai, Al-Mujtaba minas Sunan, Sunan An-Nasai, juz II, halaman 141). Wallahu a‘lam.

Benarkah Orang yang Sudah Meninggal Menunggu Diziarahi? Ini Penjelasannya

 Benarkah Orang yang Sudah Meninggal Menunggu Diziarahi? 

Ini Penjelasannya


 - Ziarah kubur menjadi salah satu kebaikan untuk ahli kubur. Apalagi saat kita berziarah, kita mendoakannya.


Namun sering kali kita bertanya-tanya apakah ahli kubur tahu siapa saja yang menziarahi kuburnya? jika ahli kubur mengetahui siapa saja yang menziarahi kuburnya, bolehkah si keluarga atau si peziarah menyampaikan sesuatu atau meminta doa kepada mereka?


Untuk menjawab beberapa pertanyaan ini, tentunya dibutuhkan dalil dan pandangan para ulama, terutama para ulama Ahlussunnah wal Jamaah.


Dilansirkan nu.or.id dalam artikel yang ditulis Ustadz M Tatam, Pengasuh Majelis Taklim Syubbanul Muttaqin, Sukanagara-Cianjur, Jawa Barat, pertanyaan tentang tahu dan tidaknya ahli kubur terhadap orang-orang yang menziarahinya sungguhnya telah terjawab oleh riwayat Al-Baihaqi dalam Kitab Syu‘abul Iman dari Muhammad bin Wasi‘.


Ia menyebutkan: بَلغنِي أَن الْمَوْتَى يعلمُونَ بزوارهم يَوْم الْجُمُعَة وَيَوْما قبله وَيَوْما بعده


Artinya, “Telah sampai kepadaku bahwa orang-orang yang telah meninggal mengetahui orang yang menziarahinya pada hari Jumat, serta satu hari sebelum dan setelahnya.”


Hal ini ditegaskan oleh As-Suyuthi sebagaimana riwayat Al-‘Uqaili dari Abu Hurairah.


Pertanyaan ini juga dipertanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam oleh seorang sahabat bernama Abu Razin.


Tanya Abu Razin, “Wahai Rasul, jika aku mau berjalan lewat kuburan orang-orang meninggal, adakah ucapan yang dapat aku sampaikan ketika melewati mereka?”


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Ucapkanlah olehmu:


اَلسَّلَامُ عَلَيْكُمْ يَا أَهْلَ الْقُبُوْرِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُؤْمِنِيْنَ، أَنْتُمْ لَنَا سَلَفٌ وَنَحْنُ لَكُمْ تَبَعٌ، وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللهُ بِكُمْ لَاحِقُوْنَ


Artinya, ‘Salam keselamatan teruntuk kalian, wahai ahli kubur dari orang-orang muslim dan mukmin. Kalian adalah pendahulu bagi kami. Dan kami adalah pengikut kalian. Sesungguhnya kami insya Allah akan men