Kamis, 30 Desember 2021

Inilah Syarat Menikah dalam Islam

 



Perhatikan! 

Inilah Syarat Menikah dalam Islam


Umroh.com – Menikah adalah prosesi yang sakral dalam Islam. Pernikahan antara pria dan wanita disahkan melalui prosesi akad nikah. Syarat menikah dalam islam yang utama adalah dilakukannya akad nikah sebagai perjanjian yang kuat. Allah berfirman, “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat” (QS.An Nisa: 21).


Agar calon mempelai dinilai sah dalam melaksanakan pernikahan, maka ada syarat-syarat yang harus diperhatikan supaya dinilai sah dalam agama dan juga tidak melanggar hal apapun yang sudah ditentukan sebelumnya. Jika akad sudah dilakukan tingga lanjut ke rencana para mempelai dan keluarga untuk merealisasikannya.


1. Ada Kerelaan pada Kedua Pihak Calon


Syarat menikah yang pertama adalah ada kerelaan, baik pada pihak mempelai pria maupun mempelai wanita. Tidak dibolehkan melakukan pernikahan dengan paksaan, sehingga timbul beban di dalam hati salah satu atau keduanya. Rasulullah berpesan kepada umatnya agar tidak menikahi wanita jika ia belum siap atau tidak memberi izin.


Diriwayatkan Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam Tirmidzi, Rasulullah mengenai syarat menikah dalam islam, “Janganlah kamu menikahi wanita (baik yang masih kecil atau sudah besar) sampai kamu minta kesiapannya, dan janganlah kamu menikahi seorang perawan sampai kamu minta izinnya. Para sahabat bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimanakah izinnya? Rasulullah menjawab: Dia berdiam diri.”


Pernikahan yang dilakukan dengan paksaan, atau tanpa ridha dari sang wanita disebut pernikahan haram. Allah berfirman di surat An Nisa’ ayat 19, “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa.”


2. Ada Wali bagi Wanita


Tidak boleh menikahi seorang wanita tanpa izin atau kehadiran walinya. Pernikahan yang dilakukan tanpa wali (mempelai wanita menikah sendiri), maka pernikahannya batal.


Dalam Islam, ‘Wali’ adalah seorang laki-laki muslim yang telah baligh atau dewasa, dan berakal. Wali hendaknya merupakan pihak keluarga dekat dari mempelai wanita, seperti ayah, kakek dari ayah, saudara laki-laki dari ayah, paman sepupu, paman dari ayah dan anak laki-laki mereka yang lebih dekat, anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki dan terus ke bawah, dan saudara sepupu laki-laki.


Allah berfirman, “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahaya-mu yang perempuan.” (QS.An Nur: 32).


Dalam surat itu tercantum lafal “ankihuu” (kawinkanlah), dimana firman tersebut ditujukan untuk wali. Firman serupa juga tercantum dalam surat Al Baqarah ayat 221, “Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman.”


“Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya.” (QS.Al Baqarah: 232)


Rasulullah juga bersabda, “Tiada nikah kecuali hanya dengan wali.” (HR.Tirmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah dan Ad Darami).


3. Ada Calon Mempelai yang Jelas


Ketika menikahkan seseorang, wali harus menyebut dengan jelas karaktersitik wanita yang akan dinikahkan. Tujuannya agar tidak terjadi kesalahan dalam menikahkan. Misalnya jika wali adalah seorang ayah, maka ia harus menyebut nama dan karakteristik lain dari mempelai wanita.


Misalnya dengan berkata, “Saya nikahkan Fulanah binti Fulan” atau “anak saya yang pertama”. Jika wali menyebut mempelai wanita yang akan dinikahkan secara kurang jelas, maka pernikahan menjadi tidak sah, karena syarat menikah dalam Islam yang satu ini tidak terpenuhi.


4. Dihadiri oleh Saksi


Syarat menikah dalam Islam selanjutnya adalah kehadiran saksi dalam akad nikah. Saksi harus merupakan seseorang yang dikenal adil, dan bisa diterima oleh masyarakat. Jumlah saksi yang hadir adalah dua orang. Bukan berasal dari keluarga (asal / ushul atau furu’) laki-laki, dan bukan berasal dari pihak wanita.


Ushul berarti keluarga yang berasal dari ayahnya ayah dan seterusnya ke atas. Furu’ adalah anak laki-laki dan seterusnya ke bawah. Namun, ada juga pendapat lain yang mengatakan bahwa saksi dibolehkan berasal dari ushul atau furu’.


5. Sekufu’


Selain empat syarat menikah dalam Islam di atas, ternyata ada yanglain yang hendaknya diperhatikan, yaitu kesepadanan atau ke-kufu’an di antara kedua calon pengatin. Mayoritas ulama berpendapat bahwa kufu’ yang dimaksud adalah dalam hal agama, keturunan, kebebasan, dan profesi. Sementara madzhab Hambali dan Hanafi menambahkan bahwa sekufu dalam harta juga bisa menjadi pertimangan.


Hal yang harus diperhatikan adalah kesepadanan dalam hal agama. Sedangkan kesepadanan dalam hal lain tidak menjadi syarat sah pernikahan. Maksud dari kesepadanan dalam agama ialah menikahkan wanita yang muslim dengan lelaki yang muslim juga. Jadi, tidak sah jika seorang muslimah menikah dengan lelaki kafir. Syarat menikah ini tercantum dalam Al Quran.


Allah berfirman, “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu” (QS.Al Baqarah: 221).


Rasulullah juga berpesan agar menikahkan seseorang dengan memperhatikan agama dan akhlaknya, karena hal itu merupakan salah satu dari syarat menikah dalam islam. Beliau bersabda, “Apabila telah datang kepadamu seseorang yang kamu semua merasa ridha dengan agama dan akhlaknya maka nikahkanlah dia, karena jika tidak kamu nikahkan maka menjadi fitnah di bumi dan kerusakan yang besar” (HR.Tirmidzi dan Ibnu Majah).

Kalau anak memilih untuk beragama selain Islam bagaimana hukumnya ?

 


Kalau anak memilih untuk beragama selain Islam bagaimana hukumnya ?

Apakah orang tuanya ikut berdosa ?


Selama orang tua sudah mengajarkan tentang agama Islam, mendidiknya dengan agama Islam, mengenalkan Allah dan Rasul-Nya, lalu kemudian hidayah tidak sampai kepada dia maka itu tidak menjadi dosa kedua orang tuanya. Tetapi dengan catatan itu sudah diajarkan sejak dini.


Nah, namun beda konteksnya jika orang tuanya tidak mengajarkan, serta mengenalkan agama Islam kepada anaknya sendiri, sehingga anak memilih untuk murtad dan menjadi kafir. Maka di situ sebenarnya peran orang tua untuk mengajarkan kepada anak semaksimal mungkin.


Allah sebenarnya sudah mewanti-wanti kita dalam Alquran surah An Nisa ayat 9 :


“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.”


Hal ini, dalam artian lemah akidah, lemah agama, lemah keimanan, maka ajarkanlah mereka (anak-anak) untuk mengenal agama.


Tak hanya itu, ajarkan pula dengan lemah lebut. Sebagaimana Allah juga menjelaskan bahwa Rasulullah SAW adalah orang yang ramah dan lemah lembut. Allah Ta’ala berfirman.


فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللَّهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ


“Dengan sebab rahmat Allah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentu mereka menjauh dari sekelilingmu.” [Ali Imran : 159].


Tapi jika anak sudah benar-benar dididik dengan baik dan benar, insya Allah anak itu tidak akan berpikiran untuk pindah kepada agama yang lain. Sebab, kebenaran hanya ada di dalam ajaran agama Islam.





Lantas, kenapa banyak yang pindah dari ajaran agama Islam?


Itu karena agamanya tidak ditanamkan semenjak dini oleh orang tua mereka. Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang demikian dan selalu dilindungi anak cucu kita dari hal yang demikian, dan semoga kita selalu mempertahankan agama kita sampai akhir hayat, sehingga pada akhirnya akan menguntungkan kita pula kelak di akhirat.