Selasa, 15 November 2022

Pindah tempat untuk mengerjakan shalat sunnah, apakah dianjurkan ?

 




Bismillah walhamdulillah.


 Tidak ada keterangan yang lugas dari Nabi ﷺ bahwa kita mesti berpindah tempat ketika akan shalat sunnah, setelah selesai dzikir dari shalat wajib. 


Tapi, ada keterangan yang implisit menunjukkan hal itu, yaitu dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:


 أيعجز أحدكم أن يتقدم أو يتأخر عن يمينه أو عن شماله فى الصلاة يعنى فى السبحة 


Apa yang membuat kalian lemah untuk maju atau mundur dari kanannya atau dari kirinya ketika sedang shalat? 

           Yakni pada saat As Subhah. (H.R. Abu Daud No. 1006, Ibnu Majah No. 1427, Ahmad No. 9492, Ibnu Abi Syaibah No. 6011, Ad Dailami No. 1596. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani (Shahihul Jami’ No. 2662), dan diikuti oleh Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr dalam Syarh Sunan Abi Daud [126]) Makna As Subhah adalah shalat tathawwu’ atau nafilah (sunnah). (Imam Al ‘Aini, Syarh Sunan Abi Daud, 4/291, Lihat juga Imam Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, 9/436, Lihat juga Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad, Syarh Sunan Abi Daud No.126, pembahasan: Syarh Hadits Al Intiqaal Littathawwu’ ba’dal Maktubah). 


Maksud hadits ini adalah anjuran untuk berpindah tempat jika ingin melakukan shalat sunnah. 


Berkata Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Hafizhahullah: 


ومعنى الحديث: أن المصلي يغير المكان تقدماً أو تأخراً أو بأن يذهب إلى جهة اليمين أو جهة الشمال، أي: يصلي النافلة في مكان آخر غير المكان الذي صلى فيه الفرض 


Makna hadits ini: 

           bahwa orang yang shalat mengubah tempat shalatnya baik maju atau mundur, atau dia berjalan menuju arah kanan atau kiri, yaitu saat shalat nafilah (sunnah) berpindah ke tempat lain, bukan tempat dia shalat wajib. 

(Syarh Sunan Abi Daud, Ibid)


 Imam Badruddin Al ‘Aini Rahimahullah menjelaskan:


 وبهذا الحديث استدل أصحابنا أن الرجل لا يتطوع في مكان الفرض، وإليه ذهب ابن عباس، وابن الزبير، وابن عمر، وأبو سعيد، وعطاء، وعامر الشعبي. 


Dengan hadits ini, para sahabat kami beralasan bahwasanya seseorang janganlah shalat sunnah di tempat shalat wajib. Inilah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Az Zubeir, Ibnu Umar, Abu Sa’id, ‘Atha, dan Amir Asy Sya’biy. (‘Umdatul Qari, 9/436) 


Selain alasan itu, berpindahnya tempat saat shalat sunnah juga dalam rangka memperluas area permukaan bumi yang dijadikan tempat kebaikan. 


Demikian itu akan menjadi saksi kebaikan bagi pelakunya di akhirat nanti. 


Beliau – Hafizhahullah– menjelaskan saat membahas 


“Bab Fir Rajul Yatathawa’u fi Makaanihi alladzi Shalla fiihil Maktuubah”


 (Bab tentang Seseorang yang Shalat Sunnah di Tempat Dia Melakukan Shalat Wajib) :


 ومعنى هذا أنه جائز، ولكن الأولى أن يغير المكان؛ لأنه إذا غير المكان يكون فيه فصل بين الفرض والنفل، وأيضاً فيه أن البقاع تشهد للإنسان بالصلاة فيها، وقد جاء في القرآن: يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا [الزلزلة:4] أي: أن الأرض تشهد بما حصل على ظهرها من خير أو شر، وقد جاء عن النبي صلى الله عليه وسلم في الجملة ما يدل على مثل ذلك، وهو أنه كان إذا خرج لصلاة العيد يذهب من طريق ويرجع من طريق، وقيل في ذلك أقوال كثيرة، منها: أن ذلك ليشهد له الطريقان. 


Maknanya adalah hal itu (tidak berpindah) dibolehkan, tapi lebih utama adalah ke tempat lain. 


Sebab, jika tempatnya berbeda maka terdapat pemisahan antara shalat wajib dan sunnah, dan juga sebagai tempat yang menjadi kesaksian bagi yang shalat di atasnya. 


Dalam Al Quran disebutkan: 

“Pada hari itu bumi menceritakan beritanya.” 

(Q.S. Az Zalzalah: 4), yaitu bahwasanya bumi menjadi saksi terhadap apa yang terjadi pada permukaannya baik perbuatan baik atau buruk. 


Dalam hadits Nabi ﷺ secara umum juga menunjukkan hal itu, yaitu jika seseorang keluar menuju shalat ‘Id, dia hendaknya pergi lewat sebuah jalan dan pulang lewat jalan yang lain, dan banyak pendapat dalam menjelaskan maksud hal ini, di antara penjelasannya adalah bahwa yang dia lakukan disaksikan oleh dua jalan yang dilaluinya. 


(Syarh Sunan Abi Daud, Ibid) Seperti yang disebutkan oleh Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad, ini hanyalah keutamaan, bukan kewajiban sebab sebagian sahabat Nabi ﷺ ada yang shalat sunnah dan wajib di tempat yang sama. 


Imam Ibnu Hajar Rahimahullah memaparkan, bahwa Nafi’ bercerita bahwa Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma pernah shalat sunnah di tempat shalat wajibnya. 


Ibnu Abi Syaibah menceritakan dari ‘Ubaidillah bin Umar bahwa dirinya melihat Al Qasim (cucu Abu Bakar) dan Salim shalat sunnah di tempat shalat wajibnya. 

(Lihat Fathul Bari, 2/335)


Sebagian ulama memakruhkan tidak berpindah tempat bagi imam.

      Sebagian imam kaum muslimin, memakruhkan tidak berpindah tempat bagi imam. 


Hendaknya imam berpindah dari tempatnya. 


Sebagian lain menganggap tidak apa-apa menetap. 


Sedangkan bagi makmum umumnya ulama membolehkannya. 


Secara ringkas dijelaskan oleh Imam Ibnu Rajab Rahimahullah berikut ini:


 وقد اختلف العلماء في تطوع الإمام في مكان صلاته بعد الصلاة ، فأما قبلها فيجوز بالاتفاق – : قاله بعض أصحابنا : فكرهت طائفةٌ تطوعه في مكانه بعد صلاته ، وبه قال الأوزاعي والثوري وأبو حنيفة ومالكٌ وأحمد وإسحاق . وروي عن علي – رضي الله عنه – ، أنه كرهه . وقال النخعي : كانوا يكرهونه ورخص فيه ابن عقيلٍ من أصحابنا ، كما رجحه البخاري ، ونقله عن ابن عمر والقاسم بن محمدٍ . فأما المروي عن ابن عمر ، فإنه لم يفعله وهو إمامٌ ، بل كان مأموماً ، كذلك قال الإمام أحمد ، . وأكثر العلماء لا يكرهون للمأموم ذلك ، وهو قول مالكٍ وأحمد . 


Para ulama berbeda pendapat tentang shalat ba’diyah sunnah bagi imam di tempat dia shalat wajib, ada pun shalat qabliyah dibolehkan sama tempatnya berdasarkan kesepakatan ulama. 


Sebagian sahabat kami (Hambaliyah) berkata: “Dimakruhkan shalat sunnah ba’diyah dilaksanakan di tempat shalat wajib”. Inilah pendapat Al Auza’iy, Ats Tsauriy, Abu Hanifah, Ahmad, dan Ishaq. Diriwayatkan dari Ali Radhiallahu ‘Anhu bahwa dia memakruhkannya. An Nakha’iy mengatakan: “Dahulu mereka (para sahabat) memakruhkan.” Namun, diantara para sahabat kami seperti Ibnu ‘Aqil ada memberikan keringanan (boleh), dan ini pendapat yang dikuatkan oleh Al Bukhari, dan dinukil dari Ibnu Umar serta Al Qasim bin Muhammad. Ada pun apa riwayat tentang Ibnu Umar bahwa dia tidak pernah pindah saat jadi imam, sebenarnya itu saat dia menjadi ma’mum, demikian pula dikatakan Imam Ahmad. Mayoritas ulama tidak memakruhkan bagi ma’mum untuk tidak pindah, inilah pendapat Malik dan Ahmad. (Fathul Bari, 5/263) 


Selesai. Wallahu A’lam.

Jangan Lakukan Hal ini, Dosanya Lebih Besar daripada Zina

 


PADA suatu hari, seorang wanita datang kepada Nabi Musa AS. Wanita tersebut datang dengan wajah lesu, berbaju lusuh, dan seakan penuh penyesalan. 


Nabi Musa yang terheran-heran pun bertanya kepada wanita tersebut,


“Untuk apa kau kemari?”


“Wahai Nabi Musa, aku datang kemari untuk memintamu agar mau memohonkan ampun kepada Allah atas dosa-dosaku yang sangat banyak,” jawab wanita itu.


“Dosa apa yang telah kau lakukan?” tanya Nabi Musa


“Maafkan aku wahai Nabi, tetapi aku malu untuk mengatakannya,” jawab wanita itu tidak mau menyebutkan dosa yang ia lakukan.


“Bagaimana aku bisa memohonkan ampun sedangkan aku tidak tau dosa apa yang akan kumintakan ampunan?” jawab Nabi Musa dengan nada meninggi.


Wanita itupun akhirnya mau untuk bercerita apa adanya “Wahai Nabi, aku telah meminum minuman keras hingga aku kehilangan akal sehatku.


 Kemudian aku berzina dengan kondisi pikiranku yang belum stabil itu. 


Setelah anakku lahir, aku tak ingin orang-orang tahu bahwa aku berzina, sehingga aku mencekik bayiku itu hingga meninggal.”


Setelah mendengar cerita wanita itu, Nabi Musa marah besar. beliau mengatakan “Cepat pergi dari rumahku ini! Aku takut Allah akan segera menimpakan mushibah akibat dosa-dosa yang telah engkau lakukan!”


Nabi Musa mengusir wanita itu dan menyuruhnya untuk segera pergi dari daerah tersebut.


 Wanita itu menangis dan putus asa. Ia berpikir, seorang Nabi saja tidak mau menerimanya apalagi masyarakat di luar.


 Ia sangat menyesali perbuatanya, ia pergi dari desa itu sambil menangis dan tidak tau harus kemana lagi ia harus meminta ampun.


Seketika itu, malaikat Jibril datang kepada Nabi Musa. Ia mengatakan:


“Wahai Musa, mengapa engkau mengusir orang yang ingin bertaubat kepada Allah?”


“Aku takut Allah akan menimpakan adzabnya di rumahku,” jawab Nabi Musa


“Musa, apakah engkau tau bahwa ada orang di daerah ini yang dosanya melebihi dosa wanita itu? tanya malaikat


“Siapakah dia?Adakah dosa yang lebih besar dari meminum khamr, berzina, dan membunuh?” tanya Musa terheran


“Ada,” jawab malaikat


“Siapakah dia?”


“Orang-orang yang meninggalkan shalat dosanya lebih besar daripada dosa wanita itu. 


Cepat kejar dia! Tuntun dia untuk kembali pada Allah” jawab Malaikat.


Tanpa berpikir panjang, Nabi Musa langsung mengejar wanita itu dan segera memintakan ampunan kepada Allah SWT. 


Wanita itupun dibimbing agar dapat bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat.


Dari kisah tersebut, ada beberapa hikmah yang dapat kita ambil.


1. Allah maha penerima taubat. Telah banyak disebutkan dalam ayat al-Qur’an maupun alhadis bahwa Allah maha luas kasih sayangnya. Allah maha menerima taubat, bahkan Allah selalu memotivasi hambanya agar tidak putus asa terhadap rahmat yang Dia berikan.


Allah SWt berfirman,


Katakanlah: 

“Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.


 Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” 

(QS Az-Zumar: 53)


2. Meninggalkan shalat adalah dosa yang sangat besar. 


Secara hukum fikih, meninggalkan shalat terbagi dalam dua macam.


 Pertama, 

meninggalkan sholat karena malas.


 Orang yang meninggalkan sholat karena malas harus diingatkan agar mau melaksanakan shalat. 


Apabila ia masih mau melaksanakan shalat, maka ia terbebas dari hukuman.

        Namun apabila ia tidak mau melaksanakan sholat hingga waktu kompensasi yang telah ditentukan, maka ia terkena hudud (dibunuh).


3. Meninggalkan shalat karena ia meyakini bahwa shalat bukan sesuatu hal yang wajib. 


Kondisi kedua ini harus diperingatkan terlebih dahulu agar bertaubat. 

         Apabila ia masih tidak meyakini kewajiban shalat, maka ia dihukumi murtad dan terkena hudud.


 Perbedaan kondisi pertama yang kedua adalah: 

      pada kondisi pertama, ia meninggal dalam keadaan iman dan jenazahnya masih wajib untuk dimandikan, dikaffani, dishalati dan dikubur secara Islami. 

       Adapun kondisi kedua tidak wajib dilakukan hal seperti itu.


Namun, kita sebagai orang di Indonesia yang tidak dapat melaksanakan hudud tersebut, maka kita tidak boleh serta-merta memberlakukannya kepada yang meninggalkan shalat. 

        Cukup kita menjadi orang yang mengajak kepada kebenaran, bukan menjadi hakim yang menentukan hukuman dan hudud.


4. Ada perbedaan syariat zaman dahulu dengan sekarang.


 Pada zaman Nabi Musa, adzab Allah langsung diturunkan di dunia. 

        Maka tidak heran jika Nabi Musa langsung mengusir wanita tersebut karena takut Allah akan segera menimpakan adzab di rumahnya.


 Berbeda dengan umat Nabi Muhammad yang adzabnya ditangguhkan hingga hari kiamat.

         Penangguhan adzab ini adalah sebagai rasa kasih sayang Allah kepada umat Nabi Muhammad.


 Allah tidak langsung menimpakan adzab agar manusia yang berdosa dapat bertaubat di kemudian hari.


Selain itu, pada zaman Nabi Musa, shalat juga sudah disyariatkan.


 Bahkan Nabi Muhammad sebelum isra` mi`raj juga telah melaksanakan sholat. 

        Namun tatacara shalat pada umat terdahulu berbeda dengan sholat yang sekarang. 


Menurut beberapa pendapat, sholatnya umat Nabi Muhammad adalah penyempurnaan yang paling sempurna dari sholatnya umat-umat terdahulu. []


SUMBER: ISLAMI