Kamis, 31 Desember 2020

Apa hukumnya mentahlili orang yg meninggal di 7hari pertama, 40hari sampai 1000hari dlm islam?

 Apa hukumnya mentahlili orang yg meninggal di 7hari pertama, 40hari sampai 1000hari dlm islam?

Perlu anda ketahui bahwa Nabi, putra putri Nabi, istri-istri Nabi, puluhan ribu sahabat Nabi, mereka semua telah meninggal dunia, dan TIDAK ADA SATUPUN YG DITAHLILKAN KEMATIAN. Lalu darimana acara ini bisa dianggap syariat Islam? Ini adalah ACARA HARAM ALA KAUM JAHILIAH yg dibuat nampak Islami dg menyelipkan bacaan Quran, zikir, dan doa. Mereka tidak tahu bhw mayit akan terancam adzab kubur krn tindakan ini.

Padahal jika niat anda baik, maka anda bisa mendoakan sang mayit dimanapun anda berada, bersama keluarga atau tmn anda, tdk hrs berkumpul kumpul di tempat mayit setelah ditanam.

✓ Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

إِنَّ الْمَيِّتَ يُعَذَّبُ بِبُكَاءِ أَهْلِهِ عَلَيْهِ

“Sesungguhnya mayit itu akan diadzab karena ratapan keluarganya.” 

[Muttafaqun ‘alaih (diriwayatkan Bukhari dan Muslim).]

~ Dalam riwayat lain dalam Shahih Muslim:

الْمَيِّتُ يُعَذَّبُ فِي قَبْرِهِ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ

“Mayit itu akan diadzab di kuburnya dengan sebab ratapan atasnya".

------------------------

LALU APA HUBUNGANNYA DG TAHLILAN KEMATIAN ??

✓ Telah diriwayatkan bahwasannya Jarir radhiyallahu'anhu pernah bertamu kepada Umar bin Khattab radhiyallahu'anhu. 

Lalu Umar bertanya,."Apakah mayit kamu diratapi ?" Jawab Jarir, " Tidak !" Umar bertanya lagi, " Apakah mereka berkumpul di rumah ahli mayit dan mereka membuat makanan ? Jawab Jarir, " Ya !" Berkata Umar, "Itulah ratapan !" 

[Al Mughni (Juz 3 halaman 496-497 cetakan ditahqiq oleh Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki )]

✓ Hadits berikutnya:

عَنْ جَرِيْربْنِ عَبْدِ اللَّهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ : كُنَّا نَرَى (وفِى رِوَايَةٍ : كُنَا نَعُدُّ) اْلاِجْتِمَاع اِلَى أَهلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ (بَعْدَ دَفْنِهِ) مِنَ الْنِّيَاحَةِ 

Dari Jarir bin Abdullah Al Bajaliy, ia berkata : "Kami (yakni para shahabat semuanya) memandang/menganggap (yakni menurut madzhab kami para shahabat) bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan membuatkan makanan sesudah ditanamnya mayit termasuk dari bagian niyahah (meratap)"

[HR. Ibnu Majah (No. 1612 dan ini adalah lafadzhnya) dan Imam Ahmad di musnadnya (2/204)]

---------------------------

TAHLILAN KEMATIAN KAN MADZHAB SYAFI'IY !!?

Telah berkata Imamnya para Ulama, mujtahid mutlak, lautan ilmu, pembela Sunnah. Al-Imam Asy-Syafi’iy di ktabnya ‘Al-Um” (I/318).

“Aku benci al ma’tam yaitu berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan”

Perkataan imam kita diatas jelas sekali yang tidak bisa dita’wil atau ditafsirkan kepada arti dan makna lain kecuali bahwa beliau dengan tegas mengharamkan berkumpul-kumpul dirumah keluarga/ahli mayit. Ini baru berkumpul saja, bagaimana kalau disertai dengan apa yang kita namakan disini sebagai Tahlilan ?”

Acara Tahlilan Kematian:

1. Berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit setelah mayit dikuburkan

2. Melakukan doa bersama, bacaan Quran, dan zikir-zikir

3. Menyediakan/membuat/menyuguhkan makanan

✓ Jika No. 1 dilakukan maka itu adalah termasuk dari definisi ratapan serta meniru-niru perbuatan jahiliah. (Lihat hadits Jarir dan Umar di atas.)

✓ Jika No.2 juga dilakukan, maka bertambahlah keharamannya karena selain meniru perilaku jahiliah, ditambah lagi perbuatan bid'ah yg mungkar 

[Keputusan Muktamar NU ke-1 di Surabaya tanggal 13 Rabiuts Tsani 1345 H/21 Oktober 1926. Buku “Masalah Keagamaan” Hasil Muktamar/ Munas Ulama NU ke I s/d XXX (yang terdiri dari 430 masalah) oleh KH. A. Aziz Masyhuri ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah dan Pengasuh Ponpes Al Aziziyyah Denanyar Jombang. Kata Pengantar Menteri Agama Republik Indonesia : H. Maftuh Basuni.]

✓ Jika No. 3 juga dilakukan, maka selain meniru perbuatan jahiliah dan berbuat bidah, juga membebani ahlimayit (keluarga mayit) yg sedang bersedih (walaupun ahli mayit tidak berkeberatan) dan ini menyelisihi sunnah Nabi yg menganjurkan menghadiahkan makanan kepada ahli mayit.

------------------------

BER-ALASAN KITAB KUNING

Kitab kuning itu adalah sebuah kitab yang kebetulan dicetak di atas kertas warna kuning, itu adalah sebuah kitab karya Al Imam Al Ghazaali berjudul ihya ulumuddin.. dan TIDAK ADA ANJURAN TAHLILAN DI DALAM KITAB KUNING !

Bahkan Al Imam Al Ghazaali, dikitabnya Al Wajiz Fighi Al Imam Asy Syafi’i (I/79), berkata "Disukai membuatkan makanan untuk ahli mayit (diserahkan saat takziyah)”

-------------------------

FATWA PARA ULAMA ISLAM DAN IJMA’ MEREKA DALAM MASALAH TAHLILAN KEMATIAN / AL MA'TAM

1. Telah berkata Imamnya para Ulama, mujtahid mutlak, lautan ilmu, pembela Sunnah. Al-Imam Asy-Syafi’iy di ktabnya ‘Al-Um” (I/318).

“Aku benci al ma’tam yaitu berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan”

Perkataan imam kita diatas jelas sekali yang tidak bisa dita’wil atau ditafsirkan kepada arti dan makna lain kecuali bahwa beliau dengan tegas mengharamkan berkumpul-kumpul dirumah keluarga/ahli mayit. Ini baru berkumpul saja, bagaimana kalau disertai dengan apa yang kita namakan disini sebagai Tahlilan ?”

2. Telah berkata Imam Ibnu Qudamah, di kitabnya Al Mughni (Juz 3 halaman 496-497 cetakan baru ditahqiq oleh Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki ) :

“Adapun ahli mayit membuatkan makanan untuk orang banyak maka itu satu hal yang dibenci ( haram ). Karena akan menambah kesusahan diatas musibah mereka dan menyibukkan mereka diatas kesibukan mereka dan menyerupai perbuatan orang-orang jahiliyyah.

Dan telah diriwayatkan bahwasannya Jarir pernah bertamu kepada Umar. Lalu Umar bertanya,.Apakah mayit kamu diratapi ?” Jawab Jarir, ” Tidak !” Umar bertanya lagi, ” Apakah mereka berkumpul di rumah ahli mayit dan mereka membuat makanan ? Jawab Jarir, ” Ya !” Berkata Umar, ” Itulah ratapan !”

3. Telah berkata Syaikh Ahmad Abdurrahman Al Banna, di kitabnya : Fathurrabbani tartib musnad Imam Ahmad bin Hambal ( 8/95-96) :

“Telah sepakat imam yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad) atas tidak disukainya ahli mayit membuat makanan untuk orang banyak yang mana mereka berkumpul disitu berdalil dengan hadits Jarir bin Abdullah. Dan zhahirnya adalah HARAM karena meratapi mayit hukumnya haram, sedangkan para Shahabat telah memasukkannya (yakni berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit) bagian dari meratap dan dia itu (jelas) haram.

Dan diantara faedah hadits Jarir ialah tidak diperbolehkannya berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit dengan alasan ta’ziyah /melayat sebagaimana dikerjakan orang sekarang ini.

Telah berkata An Nawawi rahimahullah : Adapun duduk-duduk (dirumah ahli mayit ) dengan alasan untuk ta’ziyah telah dijelaskan oleh Imam Syafi’i dan pengarang kitab Al Muhadzdzab dan kawan-kawan semadzhab atas dibencinya (perbuatan tersebut)……..

Kemudian Nawawi menjelaskan lagi, ” Telah berkata pengarang kitab Al Muhadzdzab : “Dibenci duduk-duduk (ditempat ahli mayit ) dengan alasan untuk ta’ziyah. Karena sesungguhnya yang demikian itu adalah muhdats (hal yang baru yang tidak ada keterangan dari Agama), sedang muhdats adalah ” Bid’ah.”

Kemudian Syaikh Ahmad Abdurrahman Al-Banna di akhir syarahnya atas hadits Jarir menegaskan : “Maka, apa yang biasa dikerjakan oleh kebanyakan orang sekarang ini yaitu berkumpul-kupmul (di tempat ahli mayit) dengan alasan ta’ziyah dan mengadakan penyembelihan, menyediakan makanan, memasang tenda dan permadani dan lain-lain dari pemborosan harta yang banyak dalam seluruh urusan yang bid’ah ini mereka tidak maksudkan kecuali untuk bermegah-megah dan pamer supaya orang-orang memujinya bahwa si fulan telah mengerjakan ini dan itu dan menginfakkan hartanya untuk tahlilan bapak-nya. Semuanya itu adalah HARAM menyalahi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Salafush shalih dari para shahabat dan tabi’in dan tidak pernah diucapkan oleh seorangpun juga dari Imam-imam Agama (kita).

Kita memohon kepada Allah keselamatan !”

4. Al Imam An Nawawi, dikitabnya Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab (5/319-320) telah menjelaskan tentang bid’ahnya berkumpul-kumpul dan makan-makan dirumah ahli mayit dengan membawakan perkataan penulis kitab Asy -Syaamil dan lain-lain Ulama dan beliau menyetujuinya berdalil dengan hadits Jarir yang beliau tegaskan sanadnya shahih. Dan hal inipun beliau tegaskan di kitab beliau “Raudlotuth Tholibin (2/145).

5. Telah berkata Al Imam Asy Syairoziy, dikitabnya Muhadzdzab yang kemudian disyarahkan oleh Imam Nawawi dengan nama Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab : “Tidak disukai /dibenci duduk-duduk (ditempat ahli mayit) dengan alasan untuk Ta’ziyah karena sesungguhnya yang demikian itu muhdats sedangkan muhdats adalah ” Bid’ah “.

Dan Imam Nawawi menyetujuinya bahwa perbatan tersebut bid’ah. [Baca ; Al-Majmu’ syarah muhadzdzab juz. 5 halaman 305-306]

6. Al Imam Ibnul Humam Al Hanafi, di kitabnya Fathul Qadir (2/142) dengan tegas dan terang menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah ” Bid’ah Yang Jelek”. Beliau berdalil dengan hadits Jarir yang beliau katakan shahih.

7. Al Imam Ibnul Qayyim, di kitabnya Zaadul Ma’aad (I/527-528) menegaskan bahwa berkumpul-kumpul (dirumah ahli mayit) dengan alasan untuk ta’ziyah dan membacakan Qur’an untuk mayit adalah ” Bid’ah ” yang tidak ada petunjuknya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam

8. Al Imam Asy Syaukani, dikitabnya Nailul Authar (4/148) menegaskan bahwa hal tersebut Menyalahi Sunnah.

9. Berkata penulis kitab ‘Al-Fiqhul Islamiy” (2/549) : “Adapaun ahli mayit membuat makanan untuk orang banyak maka hal tersebut dibenci dan Bid’ah yang tidak ada asalnya. Karena akan menambah musibah mereka dan menyibukkan mereka diatas kesibukan mereka dan menyerupai (tasyabbuh) perbuatan orang-orang jahiliyyah”.

10. Al Imam Ahmad bin Hambal, ketika ditanya tentang masalah ini beliau menjawab : ” Dibuatkan makanan untuk mereka (ahli mayit ) dan tidaklah mereka (ahli mayit ) membuatkan makanan untuk para penta’ziyah.” [Masaa-il Imam Ahmad bin Hambal oleh Imam Abu Dawud hal. 139]

11. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, ” Disukai membuatkan makanan untuk ahli mayit dan mengirimnya kepada mereka. Akan tetapi tidak disukai mereka membuat makanan untuk para penta’ziyah. Demikian menurut madzhab Ahmad dan lain-lain.” [Al Ikhtiyaaraat Fiqhiyyah hal.93]

----------------------------------

WASIAT WALI SONGO - TAHLILAN KEMATIAN

Para wali saat itu berselisih tentang TAHLILAN KEMATIAN / SELAMETAN KEMATIAN yg mmg mereka pahami sebagai bid'ah dalam agama. Sunan Kalijaga dg metodenya agar dakwah Islam masuk ke masyarakat berpendapat agar tradisi Hindu jangan dulu langsung diberangus, krn pengaruhnya masih sgt kuat pada masa itu.

Saat Sunan Ampel memperingatkan tentang hal tersebut, Sunan Kalijaga menjawab, “BIARLAH NANTI GENERASI SETELAH KITA KETIKA ISLAM TELAH TERTANAM DI HATI MASYARAKAT YANG AKAN MENGHILANGKAN BUDAYA TAHLILAN ITU”.

[Kitab Sunan Bonang, Museum Leiden, Belanda, ahli bahasa Jawa Kuno: Dr. Bjo Schrieke, Dr. Jgh Gunning, Dr. Da Rinkers.]

 Ini adalah wasiat yg menjadi PR bagi siapapun yg mau meneruskan perjuangan wali songo.

Sekarang ini pengaruh hindu sudah sgt lemah, saatnya ajaran Islam ini dimurnikan, saatnya mewujudkan wasiat walisongo bhw saat pengaruh hindu telah lemah, acara tahlilan kematian akan dimusnahkan dan kembali kepada kemurnian ajaran Islam.

 Mari menjadi generasi yang mensukseskan misi walisongo, saatnya murnikan ajaran Islam di Nusantara.

------------------------

DALIL AL-QUR'AN

Al Quran menyuruh anda mengikuti Rasulullah dalam beribadah dan bermuamalah..

✓ Allah ta’ala berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ

“Katakanlah (wahai Muhammad kepada umatmu): Jika kalian benar-benar mencintai Allah, maka ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa kalian“. (QS. Alu Imron: 31).

Nabi tidak mengadakan tahlilan, maka ikutilah Nabi.

✓ Mengerjakan hal yg tidak diperintahkan syariat adalah perbuatan org Yahudi.. kita dilarang meniru mereka..

Allah Ta’ala berfirman:

{فَبَدَّلَ الَّذِينَ ظَلَمُوا قَوْلًا غَيْرَ الَّذِي قِيلَ لَهُمْ فَأَنْزَلْنَا عَلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا رِجْزًا مِنَ السَّمَاءِ بِمَا كَانُوا يَفْسُقُونَ} [البقرة:59]

“Lalu orang-orang yang lalim mengganti perintah dengan (mengerjakan) yang tidak diperintahkan kepada mereka. Sebab itu Kami timpakan atas orang-orang yang lalim itu siksa dari langit, karena mereka berbuat fasik” (QS. Al Baqarah: 59)

Allah tidak pernah menurunkan syariat tahlilan kematian.. maka janganlah anda mengerjakannya.

---------------------

; Tinggalkanlah adat tahlilan kematian jika anda memang sayang pada sang mayit. Demi Allah tahlilan kematian bukan bagian dari syariat Islam, malah bisa jadi penyebab penderitaan di dalam kubur bagi sang mayit.

  Semoga bermanfaat,

#Kamis_(Magrib 18;05) 31 Desemner 2020 16 Jumadil Awal 1442 H

#Kamis_(Dzuhur 12"03) 31 Desemner 2020 16 Jumadil Awal 1442 H

#Kamis_(Subuh 04;35) 31 Desemner 2020 16 Jumadil Awal 1442 H

Senin, 21 Desember 2020

Penting! Ini Hukum Laki-laki Sholat di Rumah




Umroh.com – Bagi setiap muslim, sholat lima waktu merupakan suatu kewajiban yang harus dipatuhi, karena itu merupakan pokok tiang agama dan diperintahkan langsung oleh Allah SWT, agar hambyaNya selalu berdoa dan bersujud kepada Allah SWT. Berikut akan dijelaskan hukum laki-laki sholat di rumah yang jarang diketahui. Apa hukumnya?


Pengertian sholat


Umroh.com merangkum, sholat berasal dari Bahasa Arab yang artinya ‘doa’sedangkan menurut istilah sholat adalah suatu ibadah yang sangat mulia dan dimulai dengan membaca takbiratul ikhram dan diakhirinya dengan mengucapkan salam tentunya dengan syarat-sayarat dan ketentuan yang sudah diajarkan oleh Al-Quran dan sunnah Rasulullah SAW.


Dalam sholat segala perkataan dan perbuatan yang termasuk rukun sholat didalamnya, maka mempunyai arti dan makna tertentu yang bertujuan untuk mendekatkan hamba dengan PenciptaNya dengan sholat pula maka iman orang tersebut akan menjadi bertambah dan akan semakin takut dengan melakukan segala aktivitas yang tidak disukai oleh Allah SWT.


Hukum sholat berjamaah


Sholat berjamaah sangat dianjurkan di dalam Islam. Dalil anjuran tersebut bisa berasal dari perkataan Rasulullah SAW itu sendiri maupun perbuatan yang diterapkan oleh Rasulullah SAW. Dalam hadits riwayat al-Bukhari dan muslim, Rasulullah SAW bersabda, “sholat berjamaah lebih utama dua puluh tujuh derajat dibandingkan sholat sendirian.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Ulama juga ada yang berbeda pendapat mengenai hukum sholat berjamaah : ada yang berpendapat bahwa sholat berjamaah merupakan fardhu kifayah, pendapat ini paling kuat dan diantara ulama yang mengikuti pendapat ini adalah imam al-Nawawi. Sementara Imam al-Rafi’I mengatakan bahwa sholat berjamaah merupakan sunnah muakkad.


Berikut rincian sholat berjamaah menjadi tujuh hukum yang ditulis oleh Hasan bin Ahmad Al-Kaf:


Sholat berjamaah fa’rdhu a’ain, wajib hukumnya dilakukan dan khusus pada hari Jumat bagi setiap kaum laki-laki. Jika sholat jumat tidak dikerjakan secara berjamaah, maka hukumnya tidak sah.


Sholat berjamaah fardhu kifayah dalam konteks sholat wajib lima waktu bagi orang yang mampu melaksanakannya dan menetap. Fardhu kifayah berati kewajiban kolektif. Kalau sudah ada sebagian masyarakat yang mengerjakannya, kewajiban masyarakat lainnya sudah gugur. Sebaliknya, kalau tidak ada yang mengerjakannya, seluruh masyarakat kampung bisa berdosa.


Sholat berjamaah disunnahkan pada sholat sunnah yang disyariatkan berjamaah, seperti sholat dua hari raya: idul fitri dan idul adha, dan sholat istisqa.


Sholat berjamaah dianggap mubah pada sholat sunnah yang tidak disyariatkan berjamaah, seperti sholat dhuha dan rawatib.


Sholat berjamaah dianggap khilaful ula bila yang menjadi imam dengan niat sholat ada’, sementara makmumnya niat qadha’, ataupun sebaliknya.


Sholat berjamaah makruh bila yang menjadi imam orang fasik.


Sholat berjamaah dihukumi haram, meskipun sholatnya tetap sah, bila dilaksanakan di area ghosob, atau sholat di atas tanah hasil rampasan atau diperoleh dari cara yang tidak halal.


Mau dapat tabungan umroh hingga jutaan rupiah? Yuk download aplikasinya di sini sekarang juga!


Hukum laki-laki sholat di rumah


Bagi para kaum laki-laki, banyak sekali sebuah pertanyaan yang membahas mengenai bagaimana hukum laki-laki yang sholat di rumah? Rasulullah SAW bersabda “barangsiapa yang mendengar adzan namun ia tidak memenuhi panggilan tersebut (tidak datang ke Masjid), maka tidak ada sholat baginya kecuali udzur.” Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslin dan lainnya bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada seseorang yang buta “ apakah anda mendengar hayya ‘alas shalah hayya ‘alal falah? Lalu ia menjawab “iya saya dengar” nabi bersabda “Jika demikian maka penuhilah panggilan itu, karena saya tidak menemukan adanya rukhshah bagimu.”


Melancarkan rezeki Anda, yuk pilih paket umroh terbaik cuma di Umroh.com!


Para kaum laki-laki sangat dianjurkan untuk sholat di Masjid, karena jika dia tidak melakukan sholat berjamaah di masjid tanpa udzur syar’I, maka dia termasuk ke dalam golongan yang melanggar syariat agama, yaitu melalaikan sholat berjamaah. Bukan hanya melanggar tetapi meninggalkan salah satu amalaan yang wajib yaitu sholat berjamaah di Masjid. Padahal dengan sholat berjamaah di Masjid, maka dia akan mendapatkan amalan yang amat besar pahalanya. Kaum laki-laki yang tidak sholat berjamaah di Masjid, maka secara perlahan-lahan mulai meninggalkan syariat Islam, untuk meninggalkan sholat berjamaah tentu tidak perlu banyak alasan bahwa dia tidak bisa melakukannya, dengan berbagai alasan apapun, maka sholat berjamaah di Masjid wajib hukumny bagi kaum laki-laki


Perkembangan zaman seperti ini, tentu sangatlah mudah mencari Masjid yang berada disekitar kita, tentu hal itu lah yang seharusnya menjadikan semangat dalam sholat berjamaah di Masjid, maka Masjid akan tetap memiliki fungsinya karena dapat digunakan untuk sholat berjamaah bagi kaum pria dan tidak membiarkan Masjid kosong dan tidak digunakan pada waktu sholat tiba, dengan banyaknya jamaah yang sholat di Masjid maka akan semakin berkembangnya agama Islam dan semakin banyak pula majelis-majelis yang diadakan di dalam Masjid.


Punya rencana untuk berangkat umroh bersama keluarga? Yuk wujudkan rencana Anda cuma di Umroh.com!


Oleh karena itu, meninggalkan sholat berjamaah tanpa udzur syar’I itu berdosa bahkan termasuk ke dalam salah satu dosa besar.

#Senin 21 Desemner 2020 06 Jumadil Awal 1442 H

#Senin 21 Desemner 2020 06 Jumadil Awal 1442 H

Sabtu, 19 Desember 2020

#Sabtu 19 Desemner 2020 04 Jumadil Awal 1442 H

Adakah tuntunan mengusap wajah setelah berdoa

Adakah Tuntunan Mengusap Wajah Setelah Berdoa? #Pertanyaan: Adakah Tuntunan Mengusap wajah setelah selesai berdoa? Ibu Darti - Bekasi #Jawaban: Oleh; Badrul Tamam Al-Hamdulillah, segala puji milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam atas Rasulillah –Shallallahu 'Alaihi Wasallam-, keluarga dan para sahabatnya. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum mengusap wajah setelah berdoa. Ada tiga pendapat tentangnya. #Pertama, sunnah berdasarkan hadits yang dihassankan sebagian ulama seperti Ibnul Hajar dan Imam Nawawi . كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَفَعَ يَدَيْهِ فِي الدُّعَاءِ لَمْ يَحُطَّهُمَا حَتَّى يَمْسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ “Apabila Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam mengangkat kedua tangannya saat berdoa, beliau tidak meluruskannya sehingga mengusapka kedua tangannya ke wajah beliau.” (HR. Al-Tirmidzi dari haidts Umar bin Khathab Radhiyallahu 'Anhu) #Kedua, perbuatan bid’ah, karena menilai hadits di atas adalah dhaif. Tidak bisa dijadikan sebagai landasan hukum sunnah. Sedangkan hadits-hadits lain yang menopangnya derajatnya juga sangat lemah. #Ketiga, tidak sunnah dan tidak pula bid’ah; ia termasuk perkara mubah. Jika ada yang mengerjakan maka tidak dikatakan bid’ah dan bila ditinggalkan maka tidak dicela. Menurut Syaikh Utsaimin dalam Syarh al-Mumti’, bahwa itu tidak sunnah. Sebab, hadits-hadits yang menerangkannya itu lemah. Tidak mungkin menetapkannya sebagai sunnah berdasarkan haidts dhaif. Inilah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Beliau berasalan, hadits-hadits yang terdapat dalam Shahihain dan selainnya yang jumlahnya banyak menerangan bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam berdoa dan mengangat kedua tangannya; serta tidak mengusap wajah beliau dengan keduanya. Maka yang paling utama, menurut Syaikh Ibnul Utsaimin, tidak mengusap wajah. Tetapi kami tidak mengingkari orang yang segaja mengusap wajah karena menganggap hadits-hadits yang menerangkannya itu Hassan. Karena persoalan ini termasuk perkara khilafiyah. Dalam tulisan kami terdahulu dari perkataan Syaikh Ibnu Bazz, bahwa mengusap wajah selelah berdoa bukan perkara bid’ah. Tapi menurut beliau, yang lebih utama adalah meninggalkannya karena hadits-hadits menerangkannya itu lemah. Syaikh melanjutkan, tidak ada hadits shahih yang menerangkan tentang mengusap wajah setelah berdoa. Hadits-hadits yang ada dalam Shahihain, atau salah satunya tidak ada yang menerangkan tentang mengusap wajah (setelah doa). Di dalamnya hanya diterangkan doa. Karenanya siapa yang mengusap wajah, ia tak berdosa. Dan siapa yang meninggalkannya maka itu lebih utama. Sebab, hadits-hadits tentang mengusap wajah setelah berdoa –sebagaimana telah diterangkan- adalah dhaif. Tapi siapa yang mengusapnya, ia tak berdosa. Tindakannya itu tak boleh diingkari dan tidak boleh dikatakan bid’ah. Perkara ini beliau jelaskan dalam kumpulan fatwanya “Nuur Alaa al-Darb”, dengan judul: Hukmu Mashi al-Wajhi Ba’da al-Du’a wa Hukmu Taqbiil al-Qur’an (Hukum mengusap wajah setelah berdoa dan hokum mencium Al-Qur'an). Wallahu alam

Sebelum Lahir ke Dunia, Ini Janji Manusia kepada Allah

Tahukah Anda bahwa jauh-jauh hari sebelum terlahir ke dunia manusia sudah terikat perjanjian dengan Allah? Dan tidak ada satu rasul pun kecuali mengingatkan janji itu, sebagaimana dibenarkan dalam Al-Quran, Dan mengapa kamu tidak beriman kepada Allah padahal Rasul menyerumu supaya kamu beriman kepada Tuhanmu. Dan sesungguhnya Dia (Allah) telah mengambil perjanjianmu, jika kamu adalah orang yang beriman, (QS. Al Hadid [57]:8). Kapan perjanjian itu dilakukan? Setelah kakek moyang manusia Nabi Adam ‘alaihissalam diciptakan. Demikian yang tersurat dalam hadis riwayat Abu Hurairah. لَمَّا خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ مَسَحَ ظَهْرَهُ، فَسَقَطَ مِنْ ظَهْرِهِ كُلُّ نَسَمَةٍ هُوَ خَالِقُهَا مِنْ ذُرِّيَّتِهِ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ، وَجَعَلَ بَيْنَ عَيْنَيْ كُلِّ إِنْسَانٍ مِنْهُمْ وَبِيصًا مِنْ نُورٍ، ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى آدَمَ فَقَالَ: أَيْ رَبِّ، مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ ذُرِّيَّتُكَ Sewaktu menciptakan Nabi Adam, Allah mengusap punggungnya. Maka berjatuhanlah dari punggungnya setiap jiwa keturunan yang akan diciptakan Allah dari Adam hingga hari Kiamat. Kemudian, di antara kedua mata setiap manusia dari keturunannya Allah menjadikan cahaya yang bersinar. Selanjutnya, mereka disodorkan kepadanya. Adam pun bertanya, “Wahai Tuhan, siapakah mereka?” Allah menjawab, “Mereka adalah keturunanmu,” (HR. Al-Tirmidzi). Pada saat seluruh calon keturunan Adam ‘alaihissalam dikeluarkan dari punggungnya Allah mengambil janji dan sumpah setia mereka: وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka, (QS. Al-A‘raf [7]: 172). Sehingga tidak akan berdiri Kiamat sebelum semua keturunan yang telah diambil sumpah, kesaksian, dan janjinya itu terlahir ke dunia. (Lihat: Abu Muhammad Sahl, Tafsir al-Tasturi, [Beirut: Darul Kutub al-‘Ilmiyyah] 1423, jilid 13, 222). Lantas apa isi perjanjiannya? Dan apa tujuannya? Lanjutan ayat tersebut mengatakan: أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا أَنْ تَقُولُوا يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ (Allah berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Benar (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar pada hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan),” (QS. Al-A’raf [7] : 172). Sumpah serupa juga diambil Allah dari para nabi. Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi, dari kamu (sendiri) dan dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putra Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh, (Q.S. al-Ahzab [33]: 7). Namun, perjanjian Allah dengan para nabi bukan soal menuhankan-Nya, melainkan soal saling meneguhkan antara satu nabi dengan yang lain, soal penyampaian risalah, dan tugas-tugas kenabian lainnya. Riwayat lain menyatakan, janji itu tentang pertama kalinya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam diciptakan, namun yang paling terakhir diutus. (Lihat: Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Tafsir al-Thabari, [tanpa cat. kota: Risalah al-Muassasah] 2000, jilid 20, hal. 213. Lantas, mengapa kemudian manusia ingkar janji, menyimpang, dan kufur? Itulah sifat manusia. Mereka lupa atas janjinya sendiri di hadapan rabb mereka. Makanya Allah mengutus para rasul untuk mengingatkan janji itu. Sehingga tidak ada hujjah bagi mereka untuk tidak beriman saat ditagih janji pada hari Kiamat kelak. Tak lagi ada alasan, Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan), (QS. Al-A’raf [7] : 172). Dari ayat dan hadits di atas, dapat dipetik beberapa pelajaran: Setelah menciptakan Adam ‘alaihissalam, Allah mengeluarkan seluruh calon keluturunannya. Tidak akan berdiri Kiamat sebelum seluruh keturunan itu terlahir ke dunia. Saat seluruh calon keturunan Adam ‘alaihissalam dikeluarkan, Allah mengadakan perjanjian dengan mereka. Dalam perjanjian itu, manusia sudah berjanji untuk menuhankan Allah. Secara tak langsung, mereka juga berjanji untuk tak menyekutukan-Nya, tidak menyembah kepada selain-Nya, tidak meminta kepada selain-Nya, dan seterusnya. Manusia memiliki sifat lupa dan ingkar atas janji yang telah diungkapkannya. Para nabi dan rasul diutus untuk mengingatkan janji manusia kepada Allah. Di akhirat, tidak ada alasan bagi mereka lupa janji atau lengah atas ketuhanan dan keesaan-Nya. Wallahu a’lam. Penulis : M. Tatam Wijaya

#Sabtu 19 Desemner 2020 04 Jumadil Awal 1442 H

#Sabtu 19 Desemner 2020 04 Jumadil Awal 1442 H