Selasa, 15 November 2022

Pindah tempat untuk mengerjakan shalat sunnah, apakah dianjurkan ?

 




Bismillah walhamdulillah.


 Tidak ada keterangan yang lugas dari Nabi ﷺ bahwa kita mesti berpindah tempat ketika akan shalat sunnah, setelah selesai dzikir dari shalat wajib. 


Tapi, ada keterangan yang implisit menunjukkan hal itu, yaitu dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi ﷺ bersabda:


 أيعجز أحدكم أن يتقدم أو يتأخر عن يمينه أو عن شماله فى الصلاة يعنى فى السبحة 


Apa yang membuat kalian lemah untuk maju atau mundur dari kanannya atau dari kirinya ketika sedang shalat? 

           Yakni pada saat As Subhah. (H.R. Abu Daud No. 1006, Ibnu Majah No. 1427, Ahmad No. 9492, Ibnu Abi Syaibah No. 6011, Ad Dailami No. 1596. Hadits ini dishahihkan oleh Syaikh Al Albani (Shahihul Jami’ No. 2662), dan diikuti oleh Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr dalam Syarh Sunan Abi Daud [126]) Makna As Subhah adalah shalat tathawwu’ atau nafilah (sunnah). (Imam Al ‘Aini, Syarh Sunan Abi Daud, 4/291, Lihat juga Imam Al ‘Aini, ‘Umdatul Qari, 9/436, Lihat juga Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad, Syarh Sunan Abi Daud No.126, pembahasan: Syarh Hadits Al Intiqaal Littathawwu’ ba’dal Maktubah). 


Maksud hadits ini adalah anjuran untuk berpindah tempat jika ingin melakukan shalat sunnah. 


Berkata Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Hafizhahullah: 


ومعنى الحديث: أن المصلي يغير المكان تقدماً أو تأخراً أو بأن يذهب إلى جهة اليمين أو جهة الشمال، أي: يصلي النافلة في مكان آخر غير المكان الذي صلى فيه الفرض 


Makna hadits ini: 

           bahwa orang yang shalat mengubah tempat shalatnya baik maju atau mundur, atau dia berjalan menuju arah kanan atau kiri, yaitu saat shalat nafilah (sunnah) berpindah ke tempat lain, bukan tempat dia shalat wajib. 

(Syarh Sunan Abi Daud, Ibid)


 Imam Badruddin Al ‘Aini Rahimahullah menjelaskan:


 وبهذا الحديث استدل أصحابنا أن الرجل لا يتطوع في مكان الفرض، وإليه ذهب ابن عباس، وابن الزبير، وابن عمر، وأبو سعيد، وعطاء، وعامر الشعبي. 


Dengan hadits ini, para sahabat kami beralasan bahwasanya seseorang janganlah shalat sunnah di tempat shalat wajib. Inilah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu Az Zubeir, Ibnu Umar, Abu Sa’id, ‘Atha, dan Amir Asy Sya’biy. (‘Umdatul Qari, 9/436) 


Selain alasan itu, berpindahnya tempat saat shalat sunnah juga dalam rangka memperluas area permukaan bumi yang dijadikan tempat kebaikan. 


Demikian itu akan menjadi saksi kebaikan bagi pelakunya di akhirat nanti. 


Beliau – Hafizhahullah– menjelaskan saat membahas 


“Bab Fir Rajul Yatathawa’u fi Makaanihi alladzi Shalla fiihil Maktuubah”


 (Bab tentang Seseorang yang Shalat Sunnah di Tempat Dia Melakukan Shalat Wajib) :


 ومعنى هذا أنه جائز، ولكن الأولى أن يغير المكان؛ لأنه إذا غير المكان يكون فيه فصل بين الفرض والنفل، وأيضاً فيه أن البقاع تشهد للإنسان بالصلاة فيها، وقد جاء في القرآن: يَوْمَئِذٍ تُحَدِّثُ أَخْبَارَهَا [الزلزلة:4] أي: أن الأرض تشهد بما حصل على ظهرها من خير أو شر، وقد جاء عن النبي صلى الله عليه وسلم في الجملة ما يدل على مثل ذلك، وهو أنه كان إذا خرج لصلاة العيد يذهب من طريق ويرجع من طريق، وقيل في ذلك أقوال كثيرة، منها: أن ذلك ليشهد له الطريقان. 


Maknanya adalah hal itu (tidak berpindah) dibolehkan, tapi lebih utama adalah ke tempat lain. 


Sebab, jika tempatnya berbeda maka terdapat pemisahan antara shalat wajib dan sunnah, dan juga sebagai tempat yang menjadi kesaksian bagi yang shalat di atasnya. 


Dalam Al Quran disebutkan: 

“Pada hari itu bumi menceritakan beritanya.” 

(Q.S. Az Zalzalah: 4), yaitu bahwasanya bumi menjadi saksi terhadap apa yang terjadi pada permukaannya baik perbuatan baik atau buruk. 


Dalam hadits Nabi ﷺ secara umum juga menunjukkan hal itu, yaitu jika seseorang keluar menuju shalat ‘Id, dia hendaknya pergi lewat sebuah jalan dan pulang lewat jalan yang lain, dan banyak pendapat dalam menjelaskan maksud hal ini, di antara penjelasannya adalah bahwa yang dia lakukan disaksikan oleh dua jalan yang dilaluinya. 


(Syarh Sunan Abi Daud, Ibid) Seperti yang disebutkan oleh Syaikh Abdul Muhsin Al ‘Abbad, ini hanyalah keutamaan, bukan kewajiban sebab sebagian sahabat Nabi ﷺ ada yang shalat sunnah dan wajib di tempat yang sama. 


Imam Ibnu Hajar Rahimahullah memaparkan, bahwa Nafi’ bercerita bahwa Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma pernah shalat sunnah di tempat shalat wajibnya. 


Ibnu Abi Syaibah menceritakan dari ‘Ubaidillah bin Umar bahwa dirinya melihat Al Qasim (cucu Abu Bakar) dan Salim shalat sunnah di tempat shalat wajibnya. 

(Lihat Fathul Bari, 2/335)


Sebagian ulama memakruhkan tidak berpindah tempat bagi imam.

      Sebagian imam kaum muslimin, memakruhkan tidak berpindah tempat bagi imam. 


Hendaknya imam berpindah dari tempatnya. 


Sebagian lain menganggap tidak apa-apa menetap. 


Sedangkan bagi makmum umumnya ulama membolehkannya. 


Secara ringkas dijelaskan oleh Imam Ibnu Rajab Rahimahullah berikut ini:


 وقد اختلف العلماء في تطوع الإمام في مكان صلاته بعد الصلاة ، فأما قبلها فيجوز بالاتفاق – : قاله بعض أصحابنا : فكرهت طائفةٌ تطوعه في مكانه بعد صلاته ، وبه قال الأوزاعي والثوري وأبو حنيفة ومالكٌ وأحمد وإسحاق . وروي عن علي – رضي الله عنه – ، أنه كرهه . وقال النخعي : كانوا يكرهونه ورخص فيه ابن عقيلٍ من أصحابنا ، كما رجحه البخاري ، ونقله عن ابن عمر والقاسم بن محمدٍ . فأما المروي عن ابن عمر ، فإنه لم يفعله وهو إمامٌ ، بل كان مأموماً ، كذلك قال الإمام أحمد ، . وأكثر العلماء لا يكرهون للمأموم ذلك ، وهو قول مالكٍ وأحمد . 


Para ulama berbeda pendapat tentang shalat ba’diyah sunnah bagi imam di tempat dia shalat wajib, ada pun shalat qabliyah dibolehkan sama tempatnya berdasarkan kesepakatan ulama. 


Sebagian sahabat kami (Hambaliyah) berkata: “Dimakruhkan shalat sunnah ba’diyah dilaksanakan di tempat shalat wajib”. Inilah pendapat Al Auza’iy, Ats Tsauriy, Abu Hanifah, Ahmad, dan Ishaq. Diriwayatkan dari Ali Radhiallahu ‘Anhu bahwa dia memakruhkannya. An Nakha’iy mengatakan: “Dahulu mereka (para sahabat) memakruhkan.” Namun, diantara para sahabat kami seperti Ibnu ‘Aqil ada memberikan keringanan (boleh), dan ini pendapat yang dikuatkan oleh Al Bukhari, dan dinukil dari Ibnu Umar serta Al Qasim bin Muhammad. Ada pun apa riwayat tentang Ibnu Umar bahwa dia tidak pernah pindah saat jadi imam, sebenarnya itu saat dia menjadi ma’mum, demikian pula dikatakan Imam Ahmad. Mayoritas ulama tidak memakruhkan bagi ma’mum untuk tidak pindah, inilah pendapat Malik dan Ahmad. (Fathul Bari, 5/263) 


Selesai. Wallahu A’lam.

Jangan Lakukan Hal ini, Dosanya Lebih Besar daripada Zina

 


PADA suatu hari, seorang wanita datang kepada Nabi Musa AS. Wanita tersebut datang dengan wajah lesu, berbaju lusuh, dan seakan penuh penyesalan. 


Nabi Musa yang terheran-heran pun bertanya kepada wanita tersebut,


“Untuk apa kau kemari?”


“Wahai Nabi Musa, aku datang kemari untuk memintamu agar mau memohonkan ampun kepada Allah atas dosa-dosaku yang sangat banyak,” jawab wanita itu.


“Dosa apa yang telah kau lakukan?” tanya Nabi Musa


“Maafkan aku wahai Nabi, tetapi aku malu untuk mengatakannya,” jawab wanita itu tidak mau menyebutkan dosa yang ia lakukan.


“Bagaimana aku bisa memohonkan ampun sedangkan aku tidak tau dosa apa yang akan kumintakan ampunan?” jawab Nabi Musa dengan nada meninggi.


Wanita itupun akhirnya mau untuk bercerita apa adanya “Wahai Nabi, aku telah meminum minuman keras hingga aku kehilangan akal sehatku.


 Kemudian aku berzina dengan kondisi pikiranku yang belum stabil itu. 


Setelah anakku lahir, aku tak ingin orang-orang tahu bahwa aku berzina, sehingga aku mencekik bayiku itu hingga meninggal.”


Setelah mendengar cerita wanita itu, Nabi Musa marah besar. beliau mengatakan “Cepat pergi dari rumahku ini! Aku takut Allah akan segera menimpakan mushibah akibat dosa-dosa yang telah engkau lakukan!”


Nabi Musa mengusir wanita itu dan menyuruhnya untuk segera pergi dari daerah tersebut.


 Wanita itu menangis dan putus asa. Ia berpikir, seorang Nabi saja tidak mau menerimanya apalagi masyarakat di luar.


 Ia sangat menyesali perbuatanya, ia pergi dari desa itu sambil menangis dan tidak tau harus kemana lagi ia harus meminta ampun.


Seketika itu, malaikat Jibril datang kepada Nabi Musa. Ia mengatakan:


“Wahai Musa, mengapa engkau mengusir orang yang ingin bertaubat kepada Allah?”


“Aku takut Allah akan menimpakan adzabnya di rumahku,” jawab Nabi Musa


“Musa, apakah engkau tau bahwa ada orang di daerah ini yang dosanya melebihi dosa wanita itu? tanya malaikat


“Siapakah dia?Adakah dosa yang lebih besar dari meminum khamr, berzina, dan membunuh?” tanya Musa terheran


“Ada,” jawab malaikat


“Siapakah dia?”


“Orang-orang yang meninggalkan shalat dosanya lebih besar daripada dosa wanita itu. 


Cepat kejar dia! Tuntun dia untuk kembali pada Allah” jawab Malaikat.


Tanpa berpikir panjang, Nabi Musa langsung mengejar wanita itu dan segera memintakan ampunan kepada Allah SWT. 


Wanita itupun dibimbing agar dapat bertaubat dengan sebenar-benarnya taubat.


Dari kisah tersebut, ada beberapa hikmah yang dapat kita ambil.


1. Allah maha penerima taubat. Telah banyak disebutkan dalam ayat al-Qur’an maupun alhadis bahwa Allah maha luas kasih sayangnya. Allah maha menerima taubat, bahkan Allah selalu memotivasi hambanya agar tidak putus asa terhadap rahmat yang Dia berikan.


Allah SWt berfirman,


Katakanlah: 

“Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah.


 Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” 

(QS Az-Zumar: 53)


2. Meninggalkan shalat adalah dosa yang sangat besar. 


Secara hukum fikih, meninggalkan shalat terbagi dalam dua macam.


 Pertama, 

meninggalkan sholat karena malas.


 Orang yang meninggalkan sholat karena malas harus diingatkan agar mau melaksanakan shalat. 


Apabila ia masih mau melaksanakan shalat, maka ia terbebas dari hukuman.

        Namun apabila ia tidak mau melaksanakan sholat hingga waktu kompensasi yang telah ditentukan, maka ia terkena hudud (dibunuh).


3. Meninggalkan shalat karena ia meyakini bahwa shalat bukan sesuatu hal yang wajib. 


Kondisi kedua ini harus diperingatkan terlebih dahulu agar bertaubat. 

         Apabila ia masih tidak meyakini kewajiban shalat, maka ia dihukumi murtad dan terkena hudud.


 Perbedaan kondisi pertama yang kedua adalah: 

      pada kondisi pertama, ia meninggal dalam keadaan iman dan jenazahnya masih wajib untuk dimandikan, dikaffani, dishalati dan dikubur secara Islami. 

       Adapun kondisi kedua tidak wajib dilakukan hal seperti itu.


Namun, kita sebagai orang di Indonesia yang tidak dapat melaksanakan hudud tersebut, maka kita tidak boleh serta-merta memberlakukannya kepada yang meninggalkan shalat. 

        Cukup kita menjadi orang yang mengajak kepada kebenaran, bukan menjadi hakim yang menentukan hukuman dan hudud.


4. Ada perbedaan syariat zaman dahulu dengan sekarang.


 Pada zaman Nabi Musa, adzab Allah langsung diturunkan di dunia. 

        Maka tidak heran jika Nabi Musa langsung mengusir wanita tersebut karena takut Allah akan segera menimpakan adzab di rumahnya.


 Berbeda dengan umat Nabi Muhammad yang adzabnya ditangguhkan hingga hari kiamat.

         Penangguhan adzab ini adalah sebagai rasa kasih sayang Allah kepada umat Nabi Muhammad.


 Allah tidak langsung menimpakan adzab agar manusia yang berdosa dapat bertaubat di kemudian hari.


Selain itu, pada zaman Nabi Musa, shalat juga sudah disyariatkan.


 Bahkan Nabi Muhammad sebelum isra` mi`raj juga telah melaksanakan sholat. 

        Namun tatacara shalat pada umat terdahulu berbeda dengan sholat yang sekarang. 


Menurut beberapa pendapat, sholatnya umat Nabi Muhammad adalah penyempurnaan yang paling sempurna dari sholatnya umat-umat terdahulu. []


SUMBER: ISLAMI

Senin, 14 November 2022

*Jadikan Orangtuamu Raja, Maka Rezekimu Akan Seperti Raja’*


- Budi menjalani kehidupan yang sangat berat sejak memutuskan pergi ke ibu kota. Ia yang hanya lulusan STM itu nekat meninggalkan kampung halamannya di Banyuwangi. Bekal utamanya hanya satu, yakni doa dan restu orangtua.


Budi mengalami banyak sekali derita mencari kerja, dari menjadi buruh namun terkena PHK, menjadi TKI gelap di Malaysia, bahkan bekerja sebagai tukang las keliling. Namun siapa sangka usahanya yang terakhir itu berkembang dengan sangat besar.


Budi kini memiliki sebuah perusahaan sendiri di bidang konstruksi baja yang ia rintis sejak tahun 2004 lalu. Bayangkan! Dari seorang buruh yang terkena PHK, ia mampu menjadi bos perseroan terbatas. Dari seorang tukang las keliling, ia berhasil membangun workshop ribuan meter persegi dengan setumpuk proyek konstruksi.


“Saya cuma lulusan STM. Tapi sekarang anak buah saya ada yang insinyur, sarjana ekonomi,” ujar Budi dalam sebuah wawancara dilansir detik.


Siapakah Budi itu? Ia bukan lain adalah Budi Harta Winata, pemilik PT. Artha Mas Graha Andalan, salah satu perusahaan konstruksi baja besar di Indonesia. Ia disebut-sebut sebagai orang yang sukses di usia muda dan berhasil membangun perusahaannya dari nol. Namun sebenarnya Budi memiliki rahasia di balik kesuksesan yang ia raih.


Saat ditanya rahasia kesuksesannya, Budi menjawab dengan tegas, “Jadikan orangtuamu sebagai raja, maka rezekinya seperti raja.”


Ternyata selama ini, Budi selalu memperlakukan orang tuanya layaknya raja. Meski ia hidup susah dan merantau ke Jakarta, Budi tak pernah membantah apalagi durhaka. Sebaliknya, Budi bersikap menghormati, melayani dan memprioritaskan ibu bapaknya. Bahkan ketika ia telah sukses membangun perusahaan, sifatnya itu tak pernah diubahnya.


“Jangan perlakukan orangtua seperti pembantu. Sudah tahu orangtua yang melahirkan dan membesarkan kita, lho kok masih tega-teganya kita minta uang kepada mereka padahal kita sudah dewasa. Atau orangtua diminta merawat anaknya sementara ia sibuk bekerja. Bila ini terjadi maka rezeki orang itu, rezeki pembantu karena memperlakukan orangtuanya sebagai pembantu,” kata Budi.

Subhanallah, benar terjadilah apa yang dikatakan Budi. Bukan pemandangan yang sulit dicari tentang suami istri yang sibuk bekerja lalu orangtuanya menjadi pengasuh bayi. Seorang nenek yang telah tua harus mengurus bayi ataupun balita dengan kerepotan yang sangat.


Namun ternyata gaji suami istri tersebut terus saja kurang dan tidak berkah. Sebagaimana ucapan Budi, “Rezeki orang itu, rezeki pembantu karena memperlakukan orangtuanya sebagai pembantu.”


Berkat Doa Orangtua


Budi merupakan sosok yang shaleh dan mengutamakan shalat. Nampak dari slogan perusahaannya yang unik, yakni “Utamakan Shalat dan Keselamatan Kerja”. Bahkan ia selalu menghentikan semua peralatan mesin konstruksi ketika waktu shalat tiba. Hal itu dilakukan agar karyawannya dapat menunaikan ibadah shalat terlebih dahulu.


Selain itu, Budi pula sosok pekerja keras. Ia tak pernah mengeluh di setiap fase kehidupannya hingga menjadi pengusaha sukses. Ia pula gemar belajar autodidak segala hal terkait proyek konstruksi.


Namun segala kelebihan yang dimiliki Budi tersebut tidaklah membuatnya sombong. Ia pun tak merasa bahwa hal tersebutlah yang membuatnya sukses seperti sekarang. Baginya, doa orangtuanya lah yang telah menghantarkannya ke puncak usaha, puncak kesuksesan. Berkat bapak dan ibu yang ikhlas memanjatkan doa kepada Allah, Budi memiliki kemampuan dan jalan untuk sukses.


Betapa apik pemikiran Budi tentang birrul walidain. Sosoknya pula hendaknya menjadi panutan pemuda masa kini yang sibuk mengejardunia, entah belajar atau bekerja.


Mereka lupa, kunci kesuksesan sejatinya berada sangat dekat, yakni di dalam bakti kepada ibu dan bapak. Sebagaimana ucapan Budi yang mengena di hati; jadikan orangtuamu raja, maka rezekimu akan seperti raja.

Minggu, 13 November 2022

Panggilan Suami-Istri yang Dilarang Dalam Islam



Pada umumnya pasangan suami istri memiliki panggilan tersendiri yang berbeda satu sama lain. Setiap negara dan daerah bahkan memiliki tradisi yang berbeda beda. Misalnya pada adat Jawa sering terdengar panggilan "Mas" dan "Dik" untuk pasangan suami istri. Sedangkan masyarakat di kota-kota besar sering menggunakan panggilan "Ayah" dan "Bunda". Jika mengikuti sunnah Rasulullah SAW, ada baiknya pasangan suami istri memiliki panggilan sayang agar semakin mesra. Namun bagaimana hukum memanggil pasangan dengan panggilan seperti adat atau kebiasaan masyarakat di daerah tertentu?


Menurut Ibnu Taimiyah, “Hukum asal adat (kebiasaan masyarakat) adalah tidaklah masalah selama tidak ada yang dilarang oleh Allah di dalamnya” (Majmu’ah Al-Fatawa, 4: 196).


Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata pula, “Adat adalah kebiasaan manusia dalam urusan dunia mereka yang mereka butuhkan. Hukum asal kebiasaan ini adalah tidak ada larangan kecuali jika Allah melarangnya.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 29: 16-17)


Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri berkata, “Hukum asal adat adalah boleh, tidak kita katakan wajib, tidak pula haram. Hukum boleh bisa dipalingkan ke hukum lainnya jika (1) ada dalil yang memerintah, (2) ada dalil yang melarang.” (Syarh Al-Manzhumah As-Sa’diyyah, hal. 88).


Berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanadnya dari Abu Tamimah Al-Juhaimi, “Ada seorang laki-laki yang berkata kepada istrinya, ‘Wahai Ukhti!’ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Apakah istrimu itu saudarimu?’ Beliau membencinya dan melarangnya.” (HR. Abu Daud: 1889)


Akan tetapi, hadits ini dhaif (lemah) karena pada sanadnya ada rawi yang majhul (tidak disebut namanya). Dijelaskan pula di dalam Syarah Sunan Abu Daud, yaitu ‘Aunul Ma’bud: 5/93, bahwa haditsnya mudhtharrib (guncang) sehingga tidak bisa dijadikan dalil.


Dari keterangan di atas maka sebaiknya suami tidak memanggil istrinya dengan panggilan “Ummi” (yang berarti “wahai ibuku”) atau “Ukhti” (yang berarti “wahai saudariku”) walaupun belum mempunyai anak, tetapi boleh memanggil dia dengan namanya atau lebih utama dipanggi nama kunyahnya seperti “Ummu Muhammad”.


Demikian pula istri, sebaiknya tidak memanggil suaminya dengan panggilan “Abi” (yang berarti “ayahku”) atau “Akhi” (yang berarti “saudara laki-lakiku”), tetapi panggil nama aslinya dan lebih utama dipanggil dengan nama kunyah atau gelarnya seperti Abu Muhammad, baik dia mempunyai anak yang bernama Muhammad maupun tidak, karena memberi kunyah atau julukan adalah sunnah, seperti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil seorang anak perempuan kecil dengan panggilan “Ummu Khalid”. (HR. Bukhari: 18/141)


Namun ada baiknya memanggil suami atau istri dengan panggilan sayang seperti yang dicontohkan Rasulullah saw.


Bagaimana, lebih senang panggilan sayang atau ayah-bunda?

Kamis, 10 November 2022

Kepada siapa sajakah wanita boleh membuka jilbab ?



Seorang wanita dibolehkan terlihat sebagian auratnya di depan laki-laki yang menjadi mahram baginya serta di depan sesama wanita muslimah. Sedangkan kepada laki-laki yang bukan mahram dan juga dengan sesama wanita tapi yang bukan muslimah, maka yang boleh terlihat hanya wajah dan kedua tapak tangannnya saja.


Sebaliknya, di depan suami sendiri seorang wanita dibolehkan terlihat semua bagian tubuhnya dengan halal dan sah.


Daftar Mahram


Istilah mahram sebenarnya mengacu kepada kata haram. Maksudnya, wanita atau laki-laki yang haram untuk dinikahi.Pada dasarnya ada dua jenis kemahraman.


Pertama mahram yang bersifat abadi, atau disebut juga dengan mahram muabbad


Kedua, mahram yang bersifat sementara, yaitu kemahraman yang sewaktu-waktu berubah menjadi tidak mahram, tergantung tindakan-tindakan tertentu yang terkait dengan syariah yang terjadi. Kepada mahram yang seperti ini, seorang wanita tetap diharamkan untuk terlihat sebagian auratnya.


1. Mahram Yang Bersifat Abadi (Muabbad)


Para ulama membagi mahram yang bersifat abadi ini menjadi tiga kelompok berdasarkan penyebabnya. Yaitu karena sebab hubungan nasab, karena hubungan pernikahan (perbesanan dan karena hubungan akibat persusuan.


a. Mahram Karena Nasab


Al-Umm, yaitu Ibu kandung dengan anak laki-lakinya adalah mahram. Dan demikian jugaseterusnya ke atas seperti antara nenek dengan cucu laki-lakinya.

Al-Bint, yaitu anak wanita dengan ayah kandungnya adalah mahram, dan seterusnya ke bawah seperti anak perempuannya anak perempuan.

Al-ukht, yaitu saudara kandung wanita kepada saudara laki-lakinya.

`Ammat, yaitu seorang bibi dengan keponakan laki-lakinya.

Khaalaat, yaitu seorang bibi (saudara wanita ibu) dengan keponakan laki-lakinya.

Banatul Akh / Anak wanita dari saudara laki-laki dengan pamannya.

Banatul Ukht/ anak wnaita dari saudara wanita dengan pamannya.

b. Mahram Karena Mushaharah (besanan/ipar) Atau Sebab Pernikahan


Ibu dari isteri (mertua wanita) dengan menantu laki-lakinya.

Anak wanita dari isteri (anak tiri) dengan ayah tirinya.

Isteri dari anak laki-laki (menantu peremuan) dengan mertua laki-lakinya.

Isteri dari ayah (ibu tiri) kepada anak tiri laki-lakinya.


C. Mahram Karena Penyusuan


Selain karena dua sebab di atas, kasus di mana seorang anak laki-laki pernah disusui oleh seorang wanita yang bukan ibunya, juga menjadi penyebab kemahraman. Ketika masih kecil, nabi Muhammad SAW pernah disusui oleh seorang wanita dari Bani Sa’ad yang bernama Halimah As-Sa’diyah.


Maka untuk selamanya, Halimah menjadi seorang wanita yang hukumnya mahramnya dengan beliau SAW. Tidak boleh terjadi pernikahan antara mereka, namun Halimah dibolehkan terlihat sebagian auratnya di depan beliau SAW.


Halimah juga punya seorang anak wanita yang bernama Syaima’. Statusnya juga sama dengan Halimah, Syaima’ terhitung sebagai saudara beliau SAW sesusuan, maka sebagian auratnya boleh terlihat di depan beliau SAW.


Di antara mereka yang bisa menjadi mahram karena disusui adalah:


Ibu yang menyusui dengan anak laki-laki yang disusuinya.

Ibu dari wanita yang menyusui (nenek) dengan anak laki-laki yang disusui anak perempuannya.

Ibu dari suami yang isterinya menyusuinya (nenek juga).

Anak wanita dari ibu yang menyusui (saudara wanita sesusuan).

Saudara wanita dari suami wanita yang menyusui.

Saudara wanita dari ibu yang menyusui.


2. Mahram Yang Bersifat Sementara


Kemahraman jenis yang kedua adalah kemahraman ini bersifat sementara. Maksudnya, seorang wanita diharamkan menikah dengan seorang laki-laki karena alasan yang bersifat sementara saja.


Namun bila terjadi sesuatu, keharaman itu bisa langsung hilang dan kemudian mereka boleh menikah.


Hubungan kemahraman yang seperti ini tidak membolehkan terlihatnya sebagian aurat. Yang membolehkan hanya bila hubungan kemahraman bersifat abadi (muabbad).


Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabara

Rabu, 09 November 2022

Tidak Ada Shalat Qabliyah Jumat

 


Bismillah

Diantara kebiasaan di banyak masjid, jika azdan Jum'at dikumandangkan, setelah itu para jemaah bersama-sama bangkit untuk mendirikan shalat Sunah qabliyah Jum'at dua rakaat. Kebiasaan ini tidak tepat, karena shalat sunah qabliyah Jum'at tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak dikenal oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum.

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’ad menyebutkan, “Jika bilal telah mengumandangkan adzan Jum'at, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung berkhotbah dan tidak ada seorang pun berdiri melaksanakan shalat dua rakaat kala itu. (Di masa beliau), azdan Jum'at hanya dikumandangkan sekali. Ini menunjukkan bahwa shalat Jum'at itu seperti shalat id yaitu sama-sama tidak ada shalat sunah qobliyah sebelumnya. Inilah di antara pendapat ulama yang lebih tepat dan inilah yang didukung hadist.


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu pernah keluar dari rumah beliau, lalu beliau langsung naik mimbar dan Bilal pun mengumandangkan adzan. Jika adzan telah selesai berkumandang, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkhotbah dan tidak ada selang waktu (untuk shalat Sunah kala itu). Inilah yang disaksikan di masa beliau”.

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

Kesimpulan: Tidak ada shalat sunah qabliyah Jum'at. Apalagi jika shalat ini dilaksanakan setelah adzan. Adapun shalat sunah yang dikerjakan ketika makmum masuk masjid di hari Jum'at sambil menunggu imam, maka itu adalah shalat sunah mutlak, sehingga shalat ini bisa dikerjakan tanpa batasan jumlah raka'at.

ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ

Naah sejak kapan niih kamu tahu kalau tidak ada shalat sunah qobliyah Jumat?


Source: Rumayshocom


Gabung grup :

👇👇👇👇

https://www.facebook.com/groups/1691910880996601/?ref=share&exp=e8c2 


2 Penyakit yang Menghilangkan Pahala Sedekah



KITA telah sering membahas tentang pahala sedekah. 

Kita juga sering mendengar ganjaran dan balasan yang berkali lipat untuk orang yang mau bersedekah, sesuai dengan ayat-ayat Alquran dan riwayat dari Nabi Muhammad saw.


Tapi ada hal yang sering luput dari perhatian. Pahala yang begitu besar ini bisa habis begitu saja jika tidak benar-benar dijaga. 

Ketika kita ingat tentang besarnya pahala sedekah, jangan lupakan bahwa ada pula api yang bisa membakar habis pahala itu.


Allah Berfirman,


Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu merusak sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan penerima). (QS.Al-Baqarah:264)


Ada dua penyakit yang menghilangkan pahala sedekah, yaitu:


– Al-Mannu (Mengungkit-ungkit pemberian).


– Al-Adza (Menyakiti perasaan penerima sedekah).


Penyakit pertama adalah Al-Mannu. Penyakit ini muncul dari perasaan aku telah berbuat baik. 

Hasilnya, ia ingin dipuji, dihormati dan kebaikannya selalu diingat-ingat. Dulu aku telah membantumu, telah memberimu ini dan itu


Terkadang penyakit ini tidak terasa, kebaikan itu selalu diingat dan diungkit hingga tak bersisa pahala sedikitpun.


Penyakit kedua adalah Al-Adza. Terkadang kita tak senang hati melihat ada orang memerlukan bantuan datang mengetuk rumah. 

Kita merasa terganggu ketika jalan kita dihalangi orang yang memelas meminta belas kasihan.


Akhirnya kita ngomel, marah atau pasang muka benci dan tak suka. Walau kita memberi sesuatu kepadanya, tapi perlakuan buruk itu telah menyakiti hatinya. 

Hasilnya, pahala sedekah yang begitu besar itu habis tak bersisa.


Pada ayat sebelumnya, Alquran telah memberi solusi jika kita tidak bisa menahan diri untuk marah atau bermuka masam. 

Lebih baik kita berkata dengan lembut untuk meminta maaf karena tidak bisa memberi daripada harus memberi sedekah tapi menyakiti hatinya. Allah Berfirman,


Perkataan yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi tindakan yang menyakiti. (QS.Al-Baqarah: 263)


Nah, untuk melawan kedua penyakit ini kita harus sadari bahwa :


Harta yang kita sedekahkan sangat sedikit dibanding pemberian Allah swt.

 Lalu kenapa harus merasa bangga atau tak senang hati?Harta itu hanyalah titipan dari Allah untuk kita berikan kepada orang yang membutuhkan. Pantaskah seorang tukang pos merasa bangga karena telah memberi sesuatu kepada orang yang menerima paketnya? Hai, itu bukan pemberian kita ! Tugas kita hanya mengantar!


Karena itu, jangan kita hanya fokus kepada besarnya pahala sedekah. Tapi jagalah selalu pahala itu agar tidak diserang oleh kedua penyakit di atas. Semoga Allah menjaga amal-amal kita hingga Hari Pembalasan nanti. (Inilah)

Niat Sholat Taubat, Tata Cara, Doa, Bacaan dan Keutamaan

 


Sholat taubat adalah shalat sunnah dalam rangka bertaubat kepada Allah. Bagaimana tata cara, niat sholat taubat, doa, bacaan dan keutamaannya? Berikut ini pembahasannya.


Setiap manusia pasti pernah melakukan kesalahan dan dosa. Dosa-dosa kecil bisa dihapus dengan istighfar. Dosa-dosa besar, tidak cukup hanya dengan istighfar. Perlu taubatan nasuha. Salah satu bentuknya adalah dengan sholat taubat.


Syaikh Wahbah Az Zuhaili dalam Fiqih Islam wa Adillatuhu menjelaskan, sholat ini termasuk sholat sunnah karena ada hadits dalam kitab Sunan Abu Dawud dan Sunan Tirmidzi yang menerangkan tentang sholat ini.


Keutamaan Sholat Taubat


Seperti namanya, sholat sunnah ini dikerjakan dalam rangka meminta ampunan dan bertaubat kepada Allah. Sholat taubat memiliki keutamaan yang luar biasa, antara lain sebagai berikut:


1. Diampuni Allah


Keutamaan sholat taubat yang pertama, orang yang mengerjakan sholat ini akan mendapatkan ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:


مَا مِنْ رَجُلٍ يُذْنِبُ ذَنْبًا ثُمَّ يَقُومُ فَيَتَطَهَّرُ ثُمَّ يُصَلِّى ثُمَّ يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ إِلاَّ غَفَرَ اللَّهُ لَهُ ». ثُمَّ قَرَأَ هَذِهِ الآيَةَ (وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ وَمَنْ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ اللَّهُ وَلَمْ يُصِرُّوا عَلَى مَا فَعَلُوا وَهُمْ يَعْلَمُونَ


“Tiada seorang pun yang berdosa kemudian ia berwudhu lalu mengerjakan sholat serta memohon ampun kepada Allah melainkan ia diampuni olehNya.” Selanjutnya beliau membaca ayat (QS. Ali Imran: 135, yang artinya), “Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? Dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah; hasan)


مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ وُضُوءَهُ ثُمَّ قَامَ فَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ أَوْ أَرْبَعاً – شَكَّ سَهْلٌ – يُحْسِنُ فِيهِمَا الذِّكْرَ وَالْخُشُوعَ ثُمَّ اسْتَغْفَرَ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ غَفَرَ لَهُ


“Barangsiapa berwudhu dan menyempurnakan wudhunya, lalu mendirikan sholat dua rakaat atau empat rakaat, ia menyempurnakan dzikir dan khusyu’ kemudian memohon ampun kepada Allah Azza wa Jalla, maka Allah mengampuninya.”  (HR. Ahmad; hasan)


2. Dicintai Allah


Allah mencintai hamba-Nya yang bertaubat. Mengerjakan sholat ini merupakan bentuk kesungguhan seorang hamba untuk benar-benar bertaubat dari dosa dan maksiat.


إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ


“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al Baqarah: 222)


3. Didoakan malaikat


Orang yang bertaubat akan didoakan oleh para malaikat. Mereka memohonkan ampunan kepada Allah untuk orang yang bertaubat.


الَّذِينَ يَحْمِلُونَ الْعَرْشَ وَمَنْ حَوْلَهُ يُسَبِّحُونَ بِحَمْدِ رَبِّهِمْ وَيُؤْمِنُونَ بِهِ وَيَسْتَغْفِرُونَ لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَّحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا


“(Malaikat-malaikat) yang memikul ‘Arsy dan malaikat yang berada di sekelilingnya bertasbih memuji Tuhannya dan mereka beriman kepada-Nya serta memintakan ampun bagi orang-orang yang beriman (seraya mengucapkan): “Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat.” (QS. Ghafir: 7)


4. Dimasukkan ke dalam surga


Pada akhirnya, orang yang bertaubat, mereka akan dimasukkan Allah ke dalam surga-Nya. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا عَسَىٰ رَبُّكُمْ أَن يُكَفِّرَ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِن تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ


“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai.” (QS. At-Tahrim: 8)


Tata Cara Sholat Taubat


Tidak semua kitab fiqih membahas sholat taubat. Bahkan Fiqih Empat Madzhab yang ditulis Syaikh Abdurrahman Al Juzairi tidak membahas sholat sunnah ini. Sedangkan dalam Fiqih Islam wa Adillatuhu dan Fiqih Sunnah ada pembahasan sholat sunnah ini.


Bagaimana tata cara sholat taubat? Sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah di atas, sholat ini minimal dikerjakan dua rakaat. Setelah sholat kemudian memperbanyak istighfar, memohon ampun kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.


Berikut ini tata cara sholat taubat secara praktis:


Niat sholat taubat

Takbiratul ihram, diikuti dengan doa iftitah

Membaca surat Al Fatihah

Membaca surat dari Al Qur’an

Ruku’ dengan tuma’ninah

I’tidal dengan tuma’ninah

Sujud dengan tuma’ninah

Duduk di antara dua sujud dengan tuma’ninah

Sujud kedua dengan tuma’ninah

Berdiri lagi untuk menunaikan rakaat kedua

Membaca surat Al Fatihah

Membaca surat dari Al Qur’an

Ruku’ dengan tuma’ninah

I’tidal dengan tuma’ninah

Sujud dengan tuma’ninah

Duduk di antara dua sujud dengan tuma’ninah

Sujud kedua dengan tuma’ninah

Tahiyat akhir dengan tuma’ninah

Salam


Niat Sholat Taubat


Seluruh ulama sepakat bahwa niat tempatnya di hati. Dalam Fiqih Manhaji dijelaskan, untuk keabsahan sholat, niat harus diiringi dengan takbiratul ihram. Caranya, hati harus awas bahwa akan mengerjakan sholat ketika melafadzkan takbir, sambil mengingat sholat apa dan fardlu atau sunnah. Dalam hal ini tidak disyaratkan melafadzkan niat secara lisan.


Syaikh Wahbah Az Zuhaili dalam Fiqih Islam wa Adillatuhu menjelaskan, jumhur ulama mensunnahkan melafadzkan niat karena bisa membantu hati menghadirkan niat. Namun menurut madzhab Maliki, yang terbaik adalah tidak melafadzkan niat karena Rasulullah tidak mengajarkannya.


Bagi yang melafadzkan niat, berikut ini niat sholat taubat:


أُصَلِّيْ سُنَّةَ التَّوْبَةِ رَكْعَتَيْنِ لِلَّهِ تَعَالَى


(Ushollii sunnatat taubati rok’ataini lillaahi ta’aalaa)


Artinya: Aku niat sholat sunnah taubat dua raka’at karena Allah Ta’ala


Doa Sholat Taubat


Usai sholat taubat, disunnah memperbanyak membaca istighfar. Memohon ampun kepada Allah atas segala dosa. Bertaubat dari segala maksiat.


Berikut ini beberapa contoh istighfar yang bisa dibaca sebagai doa sholat taubat:


1. Sayyidul Istighfar


Istighfar ini merupakan istighfar terbaik. Rasulullah menyebutnya sayyidul istighfar. Imam Bukhari menyebutnya istighfar yang paling utama.


اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ ، لَا إِلٰـهَ إِلاَّ أَنْتَ خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمتِكَ عَلَيَّ ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ ، فَإِنَّهُ لَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلاَّ أَنْتَ


Artinya: Ya Allâh, Engkau adalah Rabbku, tidak ada tuhan selain Engkau. Engkau yang menciptakan aku dan aku adalah hamba-Mu. Aku menetapi perjanjian untuk taat kepada-Mu dan janji balasan-Mu sesuai dengan kemampuanku. Aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatanku, aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku kepada-Mu, maka ampunilah aku. Sebab tidak ada yang dapat mengampuni dosa selain Engkau.


2. Istighfar Nabi Adam


Berikut ini adalah istighfar dan doa taubat Nabi Adam dan Hawa yang diabadikan Allah dalam Surat Al A’raf ayat 23:


رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ


Artinya: Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.


3. Istighfar Rasulullah


Istighfar ini sering dibaca Rasulullah. Bahkan dalam riwayat Tirmidzi dan Abu Daud, Umar bin Khattab menghitung dalam sebuah majlis Rasulullah mengucapkan istighfar ini seratus kali.


رَبِّ اغْفِرْ لِي وَتُبْ عَلَيَّ إِنَّكَ أَنْتَ تَوَّابُ رَحِيْمٌ


Artinya: Ya Allah ampuni aku dan terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau Maha penerima taubat dan maha penyayang.


4. Istighfar Pendek


Berikut ini adalah istighfar pendek yang paling umum diucapkan. Jika kesulitan istighfar lainnya, setelah sholat taubat bisa memperbanyak istighfar ini.


أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ الْعَظِيْمِ


Artinya: Aku mohon ampun kepada Allah yang Maha Agung.

Selasa, 08 November 2022

Suami tidak mau shalat, bagaimana solusinya ?



Salat adalah sebuah kewajiban yang tidak akan gugur dari seorang manusia selagi dia bernafas dan punya ingatan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda kepada Imran ibn Husain radhiallahu anhu:


صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِداً، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلىَ جَنْبٍ


“Salatlah dalam keadaan berdiri, jika anda tidak mampu maka dengan duduk, jika tidak mampu maka dengan (berbaring) di atas lambung.” (Al-Bukhari, 1006).


Berikan kesempatan terakhir kepada suami agar dia beristiqamah, jika tidak maka perceraian adalah lebih utama dikarenakan dengan hal tersebut telah jelaslah kekufuran dan kesengajaannya meninggalkan salat.


Selain itu, bisa dengan melakukan hal-hal berikut:


1. Menyandarkan diri kepada Allah SWT, tunduk kepada-Nya demi hidayah kepada laki-laki tersebut, dan yang benar adalah kita berdoa untuk seseorang di waktu malam, dan mendakwahinya di waktu siang, sesuai dengan kadar keikhlasan dan kejujuran kita, maka kebaikan dan pengabulan akan datang.


2. Mengambil jalan masuk yang baik menasihatinya, mengetengahkan kata-kata yang indah, memilih waktu-waktu yang sesuai, dan sebutkanlah kebaikan-kebaikan serta sifat-sifatnya yang baik. Dan berusahalah membantunya untuk mempersiapkan kepercayaan dirinya dengan mengatakan, misalnya: “Kamu alhamdulillah adalah seorang yang baik, kamu bertanggung jawab, dan manusia menyebutmu dengan kebaikan, dan akan sangat bagus lagi kalau kamu konsisten mengerjakan salat lima waktu. Karena sesungguhnya aku senang melihat suamiku keluar seperti laki-laki lain bersama keluarganya menuju rumah-rumah Allah.”


3. Mendorong orang-orang saleh dari mahrammu untuk menziarahinya dan mengajaknya salat tanpa dia merasa bahwa hal tersebut adalah sebuah kesepakatan di antara kalian. Dan lebih memilih waktu-waktu salat dalam ziarah hingga dia bisa pergi ke masjid bersama mereka.


4. Membeli kaset-kaset, dan buku-buku kecil yang menjelaskan hukum orang yang meninggalkan salat, serta hukuman orang yang meremehkan pelaksanaan salat pada waktunya, dan meletakkan kaset-kaset serta buku-buku kecil tersebut pada tempat yang biasa dia jangkau dengan tangannya.


5. Berambisi agar dia konsisten dalam mengerjakan salat lima waktu untuk pertama kalinya, kemudian mendakwahinya agar mendirikannya dengan kekhusyuannya, rukuknya dan tumakninahnya.


6. Jadikanlah waktu-waktu makan setelah waktu-waktu salat.


7. Menjelaskan bahayanya meninggalkan salat tepat pada waktunya. Mushab ibn Sa'd ibn Abi Waqqash radhiallahu ‘anhu pernah berkata kepada bapaknya saat membaca firman Allah SWT : “Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,” (QS. Al-Ma’un: 5).


Dia berkata, “Wahai bapakku, apakah mereka adalah orang-orang yang tidak salat?” Maka berkatalah Sa’d: “Tidak, seandainya mereka meninggalkan salat, maka mereka telah kafir, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang mengakhirkan (menunda)nya dari waktunya.” (H.r. Al-Bazzar 1145, dan Thabarani dalam Al-Aushath 2276).


8. Menggunakan sarana-sarana dan senjata berpengaruh yang dimiliki oleh seorang wanita untuk memaksanya agar rutin mengerjakan salat, seperti menolak makan bersamanya, duduk dengannya, serta menolak tidur di pembaringan, dan tidak ada larangan menyampaikan keinginan cerai jika dia tidak menjaga pelaksanaan salat.

Bagaimana tata cara mandi setelah haid ?

 


Mandi wajib setelah haid ada caranya. Setelah masa haid berakhir, perempuan wajib mensucikan dirinya dengan mandi, karena haid adalah salah satu hadas besar. Sebelum mandi, pastikan bahwa darah haid sudah tidak keluar lagi, yakni dengan cara mengoleskan kapas ke bagian vagina. Jika tidak ada bekas warna keruh atau kuning maka tandanya ia telah suci. Berhentinya darah haid juga bisa diketahui melalui cairan bening yang keluar setelah masa haid selesai.


Adapun tata cara mandi wajib setelah haid yaitu :


Pertama, hilangkanlah najis-najis yang keluar dari qubul dan dubur dengan beristinjak.


Kedua, hilangkan kotoran-kotoran di badan yang sulit dihilangkan kecuali dengan air, misalnya membersihkan bekas darah yang menempel di kuku, bekas make up, dll.


Ketiga, sunnah berwudhu dahulu dengan niat kesunnahan dalam mandi


Keempat, berniat mandi wajib dengan membaca :


نَوَيْتُ الْغُسْلَ لِرَفْعِ الْحَدَثِ اْلاَكْبَرِ مِنَ الحَيْضِ فَرْضًا ِللهِ تَعَالَى


Nawaitul Ghusla Liraf’il Hadatsil Akbari minal Haidhi Fardhan Lillaahi Ta’aalaa.


“Aku niat mandi besar untuk menghilangkan hadas besar dari haid fardhu karena Allah Swt.”


Kelima, alirkan air ke seluruh tubuh dari ujung kepala hingga ujung kaki, ratakan air dan gosokkan badan dengan tangan untuk membersihkan kotoran yang menempel pada tubuh.



Jazakallah, Jazakillah, Jazakumullah, Apa Artinya?



BincangSyariah.Com – Pernahkan kita mendengar orang membalas sesuatu kepada anda setelah melakukan sesuatu atau berkontribusi untuk kebaikan, jazakallah ya, jakalillah ya, atau jazakumullah. Yang terakhir acapkali penulis pribadi dengar adalah ungkapan jazakumullah ahsana al-jazaa, yang biasa diucapkan pengurus suatu masjid ketika selesai membacakan perolehan amal. Biasanya dibacakan di momen-momen sebelum shalat yang hanya di waktu tertentu seperti shalat jumat atau shalat id. Tapi apa maksud itu semua, jazakallah, jazakillah, sampai jazakumullah ?

Jika ditilik dari sisi kebahasaan, sebenarnya jazakallah adalah seperangkat kalimat yang lengkap, terdiri atas kata kerja atau disebut sebagai fi’il yaitu kata jazaa’; subjeknya (faa’il) yaitu Allah; dan objek (maf’uul) yaitu ka yang bermakna anta (kamu). Lalu apa makna kata jazaa’? Secara ringkas, jazaa’ bermakna “balasan yang setimpal”. Dalam bahasa Arab, kata jazaa’ semakna dengan aghnaa’ dan akfaa’ yang berarti mencukupi. Makna ini misalnya ditemukan dasarnya di dalam Al-Qur’an surat al-Baqarah [2] ayat 48,

وَاتَّقُوا يَوْماً لاَ تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئاً

dan takutlah kalian kepada hari dimana setiap diri tidak bisa mencukupi (untuk menolong) diri yang lain sedikitpun

Atau contoh lain dalam syair Arab,

أتُجْزُونَ بالودّ المُضاعَفِ مثلَه ، … فإنّ الكريم مَن جزَى الودَّ بالودِّ

Apakah balasan cinta yang begitu besar juga akan kalian terima … sesungguhnya orang yang mulia itu yang membalas cinta dengan cinta

Kembali kepada Dalam bahasa Arab, konsep kata kerja memiliki dimensi waktu yang dibagi menjadi tiga yaitu dahulu, saat ini, dan akan datang. Untuk dimensi waktu dahulu disebutkan sebagai fi’il al-madhi, sementara dimensi hari ini dan akan datang disebut sebagai fi’il al-mudhari’. Maka, secara seharusnya literal berarti kata jazaakallah bermakna “Allah telah membalas engkau”. Namun ada makna yang lebih luas disini. Dalam bahasa Arab, kata kerja yang bermakna lampau, jika dinisbatkan kepada Allah, maka maknanya adalah kekal namun terus-terus. Sehingga, maknanya tidak lagi telah, namun “Allah senantiasa memberikan balasan pada engkau”. Catatan terakhir, jika menggunakan ki (sebagai kata ganti perempuan) maka maknanya untuk lawan bicara perempuan dan kum untuk lawan bicara laki-laki dan perempuan dalam jumlah yang banyak

Sehingga, dapat disimpulkan ketika seseorang menyampaikan ungkapan jazakallah, jazakillah, azaadalah ungkapan harapan agar kebaikan yang diberikan seseorang kepada yang mengucapkannya, mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah Swt. Wallahu A’lam

Pernah meninggalkan shalat dengan sengaja, bagaimana bertobatnya ?



Sebagai muslim, Allah wajibkan kita sholat lima waktu. Dan perintah sholat ini di wajibkan bagi muslim berakal. Maka sebagaim muslim berakal kita harus menjalankan sholat sesuai apa yang di ajarkan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam. Dalam Hadits. 


Sholatlah Kalian sebagaimana melihat aku ( Rasulullah ) sholat. 


Dan amalan seorang hamba di hisab oleh Allah pertama kali adalah sholat mereka. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulillah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


إِنَّ أَوَّلَ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنْ عَمَلِهِ الصَّلَاةُ ، فَإِنْ صَلَحَتْ فَقَدْ أَفْلَحَ وَأَنْـجَحَ ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَقَدْ خَابَ وَخَسِرَ ، وَإِنِ انْتَقَصَ مِنْ فَرِيْضَةٍ ؛ قَالَ الرَّبُّ : اُنْظُرُوْا ! هَلْ لِعَبْدِيْ مِنْ تَطَوُّعٍ ؟ فَيُكَمَّلُ بِهَا مَا انْتَقَصَ مِنَ الْفَرِيْضَةِ ، ثُمَّ يَكُوْنُ سَائِرُ عَمَلِهِ عَلَىٰ ذٰلِكَ


Sungguh amalan yang pertama kali dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat adalah shalatnya. Jika shalatnya baik, maka beruntung dan selamat-lah dia. Namun jika rusak, maka merugi dan celakalah dia. Jika dalam shalat wajibnya ada yang kurang, maka Rabb Yang Mahasuci lagi Mahamulia berkata, ‘Lihatlah, apakah hamba-Ku memiliki shalat sunnah.’ Maka shalat wajibnya disempurnakan oleh shalat sunnah tadi. Lalu dihisablah seluruh amalan wajibnya sebagaimana sebelumnya. HR. Tirmidzi No. 413 dan Imam An Nasai. Hadits shahih dalam Shahih Attarghib wa Tarhib Al Bani No. 540. 


Apabila seorang muslim meninggalkan sholat. Maka dirinya bisa jatuh dalam kekufuran atau kafir. Karena seseorang di katakan muslim atau Kafir adalah dengan meninggalkan sholat. Sebagaimana dalam Hadits yang shahih. 


بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ


“Pemisah Antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia meninggalkannya, maka dia melakukan kesyirikan.” HR. Ath Thobari dan dalam Shahih Attargib wa Attarhib No. 566


Lalu apabila kita meninggalkan sholat dengan sengaja. Maka hendaklah kita bertaubat kepada Allah dengan kembali menjalankan sholat sesuai sunnah. Maka pelajarilah syariat sholat dengan baik. Insya Allah kita tdk akam jatuh dalam kelalaian sholat atau meninggalkannya. 


1. Bertaubat kepada Allah


2. Beristigfar


3. Menjalankan sholat yang di wajibkan sesuai dengan contoh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam. 


4. Mempelajari aqidah yang benar sesuai pemahaman para Shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam.


5. Mempelajari syariat sholat sesuai sunnah dan bergaul bersama orang yang shalih, tinggalkan lingkungan yang buruk.


Wallahu a'lam


bismillah walhamdulillah wa shalatu wa salamu ala Rasulillah wa ba'd.

Jika istri tidak shalat apakah dosanya pada suami...?



Pertama-tama, bersyukurlah kepada Allah karena masih ingat tanggung jawab seorang suami terhadap istrinya. Perlu dimaklumi bahwa wanita dititipkan kepada kaum pria agar mendidik dan memimpinnya.


Wanita itu kurang akal dan agamanya, dijadikan dari tulang yang paling bengkok, bila diperlakukan dengan keras akan patah, bila dibiarkan tetap saja dia bengkok yaitu suka berbuat jahat dan menyelisihi sunah (tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam), sebagaimana yang disebutkan dalam hadis yang sahih.


Wanita perlu dinasihati pelan-pelan, diambil hatinya, beri tahu dia bahwa salat adalah perintah Allah, bukan perintah suami. Seseorang dikatakan muslim bila menjalankan salat. Bila tidak, maka dia menjadi kafir, sedangkan orang kafir tidak boleh menikah dengan orang Islam. Bacakanlah hadis berikut ini dengan bahasa nasihat, semoga istri mau sadar dan segera rajin salat lagi. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,


إِنَّ الْعَهْدَ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ اَلصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ


“Sesungguhnya perjanjian antara kami dan mereka adalah salat. Barang siapa yang meninggalkannya maka dia kafir.” (HR. An-Nasa’i; dinilai shahih oleh Al-Albani dalam Al-Misykah, 1/126)


Jika usaha dengan lembut dan dengan berbagai macam cara belum juga dia mau salat, sedangkan suami sudah menimbang maslahat dan madharatnya, bila dia meminta cerai maka ceraikan dia, semoga Allah mengganti dengan yang lebih baik.


عَسَى رَبُّهُ إِن طَلَّقَكُنَّ أَن يُبْدِلَهُ أَزْوَاجاً خَيْراً مِّنكُنَّ مُسْلِمَاتٍ مُّؤْمِنَاتٍ قَانِتَاتٍ تَائِبَاتٍ عَابِدَاتٍ سَائِحَاتٍ ثَيِّبَاتٍ وَأَبْكَاراً


“Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Rabb-nya akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertobat, yang mengerjakan ibadah, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan.” (QS. At-Tahrim: 5).

Senin, 07 November 2022

Setelah Jenazah Dikuburkan, Ini Perintah Nabi yang Sering Dilupakan



 Islam menganjurkan kepada umatnya untuk saling memupuk kepedulian antar sesama umat manusia, khususnya kepada sesama muslim. Ini tercermin saat ada muslim yang meninggal dunia.


 Sebagian mereka berkewajiban untuk mengurus jenazahnya, bahkan setelah dimakamkan pun ada hal-hal penting yang harus dilakukannya seperti mendoakannya agar dosanya terampuni.


Hal ini sesuai hadis Nabi seperti yang dikutip oleh Imam Nawawi dalam kitab Riyadussholihin:


عن عثمان بن عفان رضي الله عنه قال: كان النبي صلى الله عليه وسلم إذا فرغ من دفن الميت وقف عليه، وقال: استغفروا لأخيكم وسلوا له التثبيت فإنه الآن يسأل


Artinya:


“Diriwayatkan dari Usman bin Affan berkata,  bahwa Nabi Muhammad SAW setelah menguburkan mayat lalu beliau berdiri diatas kuburnya. Dan berkata:”Mintalah ampunan untuk saudaramu dan mintakanlah ketetapan hati karena saat ini dia akan ditanya oleh malaikat. (HR. Abu Dawud).


Dari penjelasan hadis di atas, Nabi berpesan kepada umatnya bila ada yang meninggal dunia setelah jenazah dimakamkan untuk melakukan beberapa hal:


Pertama, meminta ampunan kepada orang tersebut. Imam Ibnu Alan dalam Dalil Al-Falihin menjelaskan alasan untuk memintakan ampunan dikarenakan doa dari orang lain sangat bermanfaat bagi orang yang telah meninggal.


Kedua, meminta agar diberikan Keteguhan hati saat ditanya malaikat setelah dikuburkan. Menurut Abu al-Lais as-Samarkandi dalam Tanbih al-Ghafilin menjelaskan bahwa keteguhan hati ada tiga kategori. Pertama. Allah mengajarkan kebenaran kepada dirinya sehingga mudah menjawab pertanyaan malaikat. Kedua, Allah menghilangkan ketakutan saat ditanya malaikat. Ketiga, Allah memperlihatkan surga kepada dirinya sehingga kuburannya seperti pertamanan surga.


Dari penjelasan ini, penting kiranya saat menghantarkan jenazah sampai pemakaman tak terburu-buru pulang sampai mendoakan orang yang meninggal terlebih dahulu.


Tulisan ini sudah dipublikasikan di Islami.co