Ada 4 nikah dalam agama Islam yang telah diharamkan, salah satunya adalah Nikah Mut’ah atau Kawin Kontrak. Nikah Mut’ah ini telah dilestarikan oleh umat Syiah, tetapi tidak diperbolehkan dalam Islam. Pernikahan merupakan sunnatullah bagi umat Islam. Sebagaimana firman Allah Swt, “Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan, supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah” -QS adz Dzariyat ayat 49.
Allah Swt telah menciptakan manusia dengan berpasang-pasangan disertai nafsu birahi dengan aturan seperti yang disyariatkan dalam agama Islam, agar mereka berhubungan tidak dengan cara sesukanya. Salah satu maqashid syari’ah (pokok dasar syariah), yaitu menjaga keturunan, Islam menganjurkan umat Islam untuk menikah. Islam juga melarang pemeluknya mendekati zina dan menutup sarana-sarana yang menjurus kepada perbuatan kotor.
Islam juga mengharamkan perzinaan yang berbalutkan dengan sampul pernikahan, atau pelacuran menggunakan baju kehormatan. Di antara pernikahan yang diharamkan Islam adalah
Nikah Tahlil
Seseorang menikah dengan seorang wanita yang telah dithalak tiga oleh suaminya, dengan tujuan agar suami pertama dapat rujuk dengannya.
Nikah Syighar
Seseorang menikahkan putrinya dengan seseorang, dengan syarat orang yang dinikahkan tersebut juga menikahkan putrinya, dan tidak ada mahar atas keduanya.
Nikah Muhrim
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu, anak-anakmu yang perempuan, saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan, saudara-saudara ibumu yang perempuan, anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan, ibu-ibumu yang menyusui kamu, saudara perempuan sepersusuan, ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya, (diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Nikah Mut’ah
Juga terdapat pernikahan yang diharamkan, yang dikenal dengan nikah kontrak (kawin kontrak). Nikah yang biasa disebut nikah mut’ah ini merupakan salah satu pernikahan yang diharamkan Islam.
Berikut ini penjelasan fiqih Islam tentang hukum nikah mut’ah. Definisi Nikah Mut’ah adalah, seseorang menikah dengan seorang wanita dalam batas waktu tertentu, dengan sesuatu pemberian kepadanya, berupa harta, makanan, pakaian atau yang lainnya.
Jika masanya telah selesai, maka dengan sendirinya mereka berpisah tanpa kata thalak dan tanpa warisan. Bentuk pernikahan ini, seseorang datang kepada seorang wanita tanpa harus ada wali atau saksi. Kemudian mereka membuat kesepakatan mahar (upah) dan batas waktu tertentu.
Misalnya tiga hari atau lebih, atau kurang. Biasanya tidak lebih dari 45 hari; dengan ketentuan tidak ada mahar kecuali yang telah disepakati, tidak ada nafkah, tidak saling mewariskan dan tidak ada iddah kecuali istibra` (yaitu satu kali haidh bagi wanita monopouse, dua kali haidh bagi wanita biasa, dan empat bulan sepuluh hari bagi yang suaminya meninggal), dan tidak ada nasab kecuali jika disyaratkan.
Nikah Mut’ah pada Masa Persyariatan
Nikah mut’ah, pada awal Islam -saat kondisi darurat- diperbolehkan, kemudian datang nash-nash yang melarang hingga hari Kiamat. Di antara hadits yang menyebutkan dibolehkannya nikah mut’ah pada awal Islam ialah : عَن الرَّبيِْع بن سَبْرَة عَنْ أَبِيْه ِرضى الله عنه أَنَّهُ كَانَ مَعَ رَسُوْلِ الله صلى الله عليه وسلم فَقَالَ : ياَ أَيَّهَا النَّاسُ إِنِّي قَدْ كُنْتُ أَذِنْتُ لَكُمْ فِي الاسْتِمْتاَعِ مِنَ النِّسَاءِ , وَ إِنَّ اللهَ قَدْ حَرَّمَ ذلِكَ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ , فَمَنْ كاَنَ عِنْدَهُ مِنْهُنَّ شَيْءٌ فَلْيُخْلِ سَبِيْلَهُ , وَ لَا تَأْخُذُوْا مِمَّا آتَيْتمُوْهُنَّ شَيْئاً ” .
Dari Rabi` bin Sabrah, dari ayahnya Radhiyallahu ‘anhu, bahwasanya ia bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda: “Wahai, sekalian manusia. Sebelumnya aku telah mengizinkan kalian melakukan mut’ah dengan wanita. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengharamkannya hingga hari kiamat. Barangsiapa yang mempunyai sesuatu pada mereka , maka biarkanlah! Jangan ambil sedikitpun dari apa yang telah diberikan”
وَ عَنْهُ قَالَ : أَََمَرَناَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم باِلْمُتْعَةِ عَامَ اْلفَتْحِ حِيْنَ دَخَلْنَا مَكَّةَ ثُمَّ لَمْ نَخْرُجْ حَتَّى نَهَاناَ عَنْهَا
Dari beliau, juga berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk mut’ah pada masa penaklukan kota Mekkah, ketika kami memasuki Mekkah. Belum kami keluar, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengharamkannya atas kami”.
عَنْ سَلَمَةَ بْنِ اْلَأكْوَع ِرضى الله عنه قَالَ: رَخَّصَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم عَامَ أَوْطاَس فِي اْلمُتْعَةِ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ ثُمَّ نَهَى عَنْهَا
Dari Salamah bin Akwa`Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan keringanan dalam mut’ah selama tiga hari pada masa perang Awthas (juga dikenal dengan perang Hunain), kemudian beliau melarang kami”.
Muncul pertanyaan, semenjak kapan Islam melarang mut’ah? Untuk menjawabnya, kita dapatkan riwayat-riwayat yang menerangkan masalah ini terkesan simpang-siur, disebabkan tempat dan waktu pengharaman mut’ah berbeda-beda.
Berikut kami sebutkan secara ringkas waktu pengharaman mut’ah, sesuai dengan urutan waktunya
Ada riwayat yang mengatakan, bahwa larangan mut’ah dimulai ketika perang Khaibar (Muharram 7H).
Ada riwayat yang mengatakakan pada umrah qadha (Dzul Qa`dah 7H).
Ada riwayat yang mengatakan pada masa penaklukan Mekkah (Ramadhan 8H).
Ada riwayat yang mengatakan pada perang Awthas, dikenal juga dengan perang Hunain (Syawal 8H).
Ada riwayat yang mengatakan pada perang Tabuk (Rajab 9H).
Ada riwayat yang mengatakan pada Haji Wada` (Zul Hijjah 10H).
Ada riwayat yang mengatakan, bahwa yang melarangnya secara mutlak adalah Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhu.